Kecurangan Pada Beras Premium, Mengapa Regulasi Tak Bergigi?
Oleh: Feby Arfanti*)
IndonesiaNeo, OPINI - Terkuak kembali kasus oplos-mengoplos. Kali ini tentunya bukan soal minyak, tetapi soal beras yang katanya premium, ternyata medium.
Dalam ungkapan, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa beras yang dioplos beredar sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tetapi kualitas dan kuantitasnya menipu. (Kompas.com, 13/07/2025).
Dilihat dari hasil investigasi, menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. Selain itu, kasus ini juga menyeret beberapa perusahaan besar produsen beras, di antaranya yakni Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Kasus oplos-mengoplos sering kali terjadi. Kali ini bahan pangan atau makanan pokok menjadi sasaran. Pasalnya, ini adalah tindak kecurangan. Dengan kualitas premium, menipu para konsumen. Demi keuntungan, tega mengelabui konsumen dengan beras yang kualitasnya sangat jauh dari kata premium.
Apalagi yang terjadi di lapangan, beras bertulisan 5 kg ternyata takarannya berkurang menjadi 4,5 kg. Sudahlah takarannya berkurang, ditambah dengan kualitas beras yang tidak sesuai standar. Begitulah manipulasi yang dilakukan produsen demi mengejar keuntungan. Mirisnya, yang terindikasi melakukan kecurangan, beberapa di antaranya adalah perusahaan besar.
Kejadian-kejadian seperti ini sering kali berulang. Wajar saja jika sistem yang dipakai hari ini adalah sistem sekuler kapitalis, sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan. Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan seolah-olah tidak dimintai pertanggungjawaban.
Halal-haram diabaikan, sesuatu yang mendatangkan keberkahan juga luput dari perhatian. Bukti nyata sistem yang dipakai menurunkan moral individu, menghadirkan orang-orang cerdas tetapi cerdas dalam memanipulasi dan memainkan perputaran laba. Namun pada dasarnya, orang-orang seperti ini adalah orang yang miskin integritas.
Mengapa demikian? Karena kita menyingkirkan tiga pilar utama yang mengatur tatanan kehidupan. Pertama, pilar individu yang bertakwa. Kedua, pilar masyarakat yang berdakwah. Ketiga, pilar negara yang menjalankan syariat. Dan ini hanya ada pada sistem Islam.
Pertama, pilar individu yang bertakwa ialah individu yang senantiasa taat dan patuh terhadap perintah Allah SWT, serta menjaga diri dari perbuatan dosa, karena ia tahu melakukan kecurangan adalah tindakan yang salah.
Allah SWT berfirman:
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (TQS. Al-Mutaffifin: 1–3).
Pilar pertama ini menghadirkan individu yang selalu merasa bertanggung jawab atas apa yang diperbuat, bahwa kesemuanya disaksikan oleh Allah SWT. Segala tindakannya dicatat oleh malaikat dan akan dihisab di hari perhitungan nanti.
Kedua, masyarakat yang berdakwah adalah masyarakat yang senantiasa menyeru kepada kebaikan dan melakukan perbaikan.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadisnya:
"Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka tolaklah dengan hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim).
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran: 104).
Karenanya, perlu dibangkitkan pada masyarakat sebuah kebiasaan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, agar yang salah bisa diingatkan dan bersemangat menuju kebaikan.
Ketiga, negara yang menjalankan syariat berarti keseluruhannya mengambil dari Al-Qur'an dan Sunnah. Maka dari itu, Islam hadir sebagai agama yang diturunkan Allah, yang sebegitu sempurnanya hingga memberikan solusi berkaitan dengan masalah manusia, semisal ekonomi, politik, pemerintahan, budaya, pernikahan, dan hukum-hukum keseharian.
Dalam Islam, pemerintah/kepala negara wajib hadir sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung umat). Oleh karenanya, terkait pengelolaan pangan, pemerintah haruslah mengambil peran utuh mulai dari hulu hingga ke hilir untuk memastikan setiap individu rakyat tanpa terkecuali bisa mendapatkan pangan yang mencukupi, layak, dan berkualitas.
Mengingat beredarnya beras oplosan ini, bisa disimpulkan bahwa hari ini, hadirnya negara atau kepala negara tidak berfungsi sebagai seorang raa’in (pelayan) dan juga junnah (pelindung umat). Yang ada hari ini hanyalah peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator, pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta, menjalankan bisnis dan meraup sebesar-besarnya keuntungan, lalu mengabaikan kemaslahatan rakyat.
Regulasi yang tidak bergigi disebabkan konsep yang mendasarinya, yaitu sistem sekuler kapitalis yang menjauhkan agama dari kehidupan sehingga kita abai dengan seruan Allah SWT untuk tunduk dan taat kepada perintah-Nya. Selain itu, kita juga lupa bahwa Rasulullah diutus bukan hanya sekadar menyampaikan risalah. Padahal Rasulullah SAW diangkat sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus sebagai seorang pemimpin. Makanya, tidak ada yang benar-benar menjadikan Rasulullah sebagai seorang suri teladan yang baik, melihat kondisi umat hari ini: beriman kepada yang satu dan meninggalkan yang lain.
Aturan yang ada dalam Islam sepenuhnya berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah SWT, sehingga terbebas dari kepentingan manusia dan tentunya sempurna. Islam dalam penerapannya akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]
*) Mahasiswi STAI YPIQ Baubau
Post a Comment