Header Ads


Skeptisme Pendidikan Bebas Biaya Dalam Sistem Kapitalisme


Oleh : Ummu Azzura Lin


IndonesiaNeo, OPINI - Pendidikan adalah hal yang sangat penting, yang tiap-tiap insan ingin mengenyamnya. Dengan pendidikan, manusia bisa bertumbuh menjadi lebih baik. Memiliki kemampuan, keahlian, serta menjadi manusia yang memiliki taraf berpikir yang cemerlang. Karenanya, pendidikan tak akan dilewatkan oleh para orang tua untuk anak-anaknya. Bagi orang tua, memberikan pendidikan dengan menyekolahkan anak adalah sesuatu yang patut untuk dilakukan dengan segenap perjuangan dan pengorbanan.

Namun, apa jadinya jika pendidikan terlampau sulit untuk dijangkau oleh setiap orang tua karena biayanya yang mahal. Bahkan pendidikan kerap dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan. Tentu hal ini akan menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang ingin menikmati bangku pendidikan. 

Seperti halnya yang terjadi di MTsN 1 Kendari, dimana para orang tua siswa mengeluhkan tingginya biaya bagi siswa yang ingin mengikuti program kelas digital, yaitu senilai Rp. 3,6 juta dan Rp. 175 ribu perbulan. (KendariInfo, 29 Juli 2025). Pihak sekolah mengatakan dana sekolah tak cukup untuk membiayai program ini, sehingga perlu ada iuran. Meskipun tidak ada paksaan untuk mengikuti program ini, namun tetap saja para siswa harusnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelajaran terbaik yang tidak dipungut biaya apapun. Selain itu anehnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti kelas digital ini harus dikirim ke rekening pribadi guru kelas tersebut. 


Komersialisasi Pendidikan

Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Namun, hari ini justru kita melihat pendidikan yang teramat sulit digapai masyarakat sebab biayanya yang mahal. Ini adalah sebuah keniscayaan karena pendidikan bukan lagi menjadi fokus utama negara. Hal ini sejalan dengan Inpres (Intruksi Presiden) No.1 Tahun 2025 tentang efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berimplikasi pada berkurangnya pendanaan untuk sektor pendidikan, sehingga pengadaan fasilitas sekolah harus melibatkan pendanaan dari orang tua murid. Sehingga tidak sedikit lembaga pendidikan yang memanfaatkan situasi ini untuk mendatangkan keuntungan. Dalam sistem kapitalisme, komersialisasi pendidikan adalah sesuatu yang wajar. Bagaimana tidak, sistem kapitalisme dengan asas manfaat menjadikan setiap aktivitas harus mendatangkan manfaat atau keuntungan. Tak ayal, pendidikan yang seharusnya menjadi sesuatu yang bisa didapatkan oleh masyarakat secara cuma-cuma harus digapai dengan biaya yang tinggi. Abainya kualitas dan pemerataan pendidikan oleh pemerintah telah membuat masyarakat harus menanggung beban yang sebenarnya milik pemerintah itu sendiri. Pemimpin yang harusnya hadir untuk rakyat justru tak benar-benar nampak ada untuk rakyat. 


Pendidikan Berkualitas Bebas Biaya, Mungkin kah?

Siapa yang tak menginginkan pendidikan bebas biaya dengan kualitas dan fasiitas terbaik? Tentu semua orang menginginkannya. Namun, harapan ini akan sangat sulit atau mustahil jika sistem kapitalisme yang menjadi asas dari semua aturan kehidupan. Sebab di sistem kapitalisme kerap menjadikan profit sebagai tujuan, sehingga kualitas dan fasilitas terbaik tak akan didapat jika ingin bebas biaya.

Namun, bagaimana Islam menjawab tantangan ini? Dalam Islam, pendidikan bukanlah komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan materi. Dalam Islam, negara berperan sebagai ra'in atau pengurus rakyat sehingga pendidikan adalah sesuatu yang wajib yang harus didapatkan oleh setiap manusia dan tentunya gratis meskipun kualitas dan fasilitas yang disediakan adalah yang terbaik. Negara wajib mengalokasikan dana yang cukup untuk sektor pendidikan karena pendidikan amat sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan adalah prioritas yang harus diutamakan. 

Selain itu, kurikulum yang disediakan dalam Islam adalah kurikulum yang jelas berlandaskan aqidah Islam dan seragam. Sehingga tidak boleh menggunakan kurikulum lain selain kurikulum yang ditetapkan oleh negara yang tentu telah sesuai dengan aturan Islam. Kemudian, negara wajib memberikan tenaga pendidik yang ahli dibidangnya serta memberikan gaji yang tinggi bagi para tenaga pendidik. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (jika dikalkulasi 1 gram emas seharga Rp1,94 juta, setara dengan Rp123,675 juta) setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari baitulmal. Penerapan sistem ekonomi Islam memungkinkan negara mengelola sumber keuangan berlandaskan prinsip syariat sehingga memiliki anggaran yang sangat cukup untuk membiayai sektor-sektor vital, termasuk pendidikan.

Mengacu pada kitab Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam hlm. 537—538yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, negara Khilafah memiliki mekanisme pembiayaan pendidikan. Ada dua sumber pendapatan baitulmal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai‘ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Negara bisa menarik harta (dharibah) dari kaum muslim di kalangan orang-orang kaya saja. Sehingga aktivitas pendidikan dapat berjalan lancar tanpa ada hambatan.

Demikianlah bagaimana konsep pelaksanaan sistem pendidikan Islam dapat tercapai. Dengan penerapan sistem pendidikan berbasis Islam yang ditunjang dengan politik ekonomi Islam kaffah, hak untuk mendapatkan pendidikan dapat dirasakan oleh setiap manusia, hingga menghasilkan generasi terbaik yang unggul serta memiliki akhlak yang mulia.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.