Penculikan Anak Marak, Anak Terancam
Oleh: Khadijah, S.Si*)
IndonesiaNeo, OPINI - Dalam beberapa waktu terakhir, kasus penculikan anak kembali marak. Berita anak hilang bermunculan di berbagai media resmi maupun melalui laporan warga di media sosial. Kasus ini tentu saja membuat masyarakat was-was dan prihatin. Data yang dihimpun oleh KPAI mencatat kurun waktu Januari hingga November 2025 terdapat 221 korban penculikan; 50 kasus atau 22,62% di antaranya berusia di bawah 20 tahun, dan hingga November 2025 sudah terdapat enam kasus penculikan anak. Bisa jadi kasus bertambah dan luput dari pantauan KPAI.
Berulangnya kasus penculikan anak ini mestinya tidak dipandang sebagai kasus kriminal biasa, melainkan menjadi alarm keras bahwa keamanan anak di sekitar kita berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Kasus penculikan anak yang berakhir menyedihkan dengan hilangnya nyawa anak ataupun kasus anak yang dijual dan menjadi korban perdagangan manusia membuat kita prihatin dan cemas.
Kasus terbaru ialah kasus Alvaro, bocah laki-laki berusia 6 tahun yang dikabarkan hilang setelah pulang dari belajar mengaji di sebuah masjid kawasan Bintaro. Kasus ini terjadi pada sore hari, 6 Maret 2025. Jejak Alvaro hilang bak ditelan bumi. Setelah delapan bulan berselang, Alvaro ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa dan sudah menjadi kerangka. Penyelidikan pun makin intens dilakukan. Alhasil, bapak tiri diketahui sebagai dalang dari kejadian ini (detiknews.com, 28/11/25).
Kasus sebelumnya juga menimpa seorang bocah perempuan berusia 5 tahun bernama Bilqis, yang hilang di Makassar pada tanggal 2 November 2025 dan ditemukan di pedalaman Jambi pada tanggal 8 November. Dari hasil penyelidikan, ternyata Bilqis menjadi korban perdagangan orang (metrotvnews.com, 17/11/2025). Kasus-kasus ini adalah sebagian dari kasus yang tampak di permukaan; tidak menutup kemungkinan kasusnya terus bertambah. Berkurangnya rasa aman, nyaman, dan ramah bagi anak menunjukkan lemahnya perlindungan anak baik di ranah publik maupun keluarga.
Jeratan Kemiskinan
Kasus penculikan yang saat ini marak tidak lepas dari jeratan kemiskinan yang menimpa masyarakat tanah air. Biaya hidup yang semakin bertambah sementara penghasilan tidak menentu membuka peluang terjadinya kejahatan. Iming-iming penghasilan besar dan minim risiko membuat sebagian orang tergiur melakukan penculikan. Satu anak bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Pada kasus penculikan Bilqis, melibatkan jaringan perdagangan anak antarpulau melalui transaksi gelap di media sosial dengan nilai hingga 80 juta rupiah.
Di sisi lain, negara dan masyarakat perlu menyadari bahwa kasus penculikan anak bukan semata-mata persoalan kejahatan individual, tetapi juga persoalan sistemik atau struktural. Kurangnya lapangan pekerjaan layak, mahalnya biaya pendidikan, dan minimnya jaminan sosial mendorong seseorang mengambil risiko kriminal. Ketika kebutuhan dasar keluarga belum terpenuhi, bayang-bayang kejahatan lebih mudah tumbuh. Negara mesti mengambil peran penuh dalam memberikan jaminan keamanan bagi anak dan menciptakan lingkungan yang ramah anak. Hanya saja, beberapa regulasi hukum atau kebijakan yang diambil belum mampu mewujudkannya. Kasus ini tetap berulang, makin ganas, dan terkesan sulit diberantas.
Namun apa pun motifnya, penculikan anak tetap tak bisa dibenarkan. Selama kemiskinan terus menghimpit, ancaman penculikan akan selalu membayangi. Karena itu, mencegah kejahatan berarti memastikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pembentukan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dimulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan masyarakat pun mesti berperan dalam mengontrol individu sebagai upaya saling menasihati dalam kebaikan atau amar ma’ruf nahi mungkar, serta negara yang hadir untuk melindungi dan menjamin kebutuhan masyarakat serta memberikan sanksi hukum yang tegas dan berefek jera.
Sekulerisme Biangnya
Tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi yang pesat saat ini membuat masyarakat dijauhkan dari agama. Seolah agama menjadi beban dalam teknologi atau bahkan menghambatnya. Aturan agama hanya dipakai untuk hal-hal yang dianggap bermanfaat secara materi, sementara selebihnya disingkirkan ketika dinilai menghambat kemajuan. Agama tidak diizinkan mengatur kehidupan manusia. Inilah yang dinamakan paham sekulerisme.
Kehidupan yang berlandaskan paham sekulerisme telah membuka ruang luas bagi munculnya berbagai bentuk kejahatan. Ketika kebebasan perilaku diagungkan, masyarakat merasa boleh bertindak sesuka hati demi kepentingan pribadi, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
Negara pun tidak sepenuhnya hadir sebagai solusi. Sebaliknya, sejumlah kebijakan justru ikut menyumbang lahirnya masalah kriminalitas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak aturan diterapkan tetapi tidak sejalan dengan upaya pemberantasan kejahatan, termasuk kasus penculikan anak.
Contohnya tampak pada kebijakan ekonomi seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja yang memungkinkan perusahaan membayar upah rendah bahkan memutus hubungan kerja dengan mudah. Begitu pula UU Minerba yang memberikan keleluasaan besar kepada korporasi untuk menguasai sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat. Kebijakan-kebijakan seperti ini memperparah kondisi masyarakat kecil dan menambah tekanan ekonomi, yang pada akhirnya memicu meningkatnya tindakan kriminal, termasuk penculikan anak.
Masalah lain muncul dari aspek perlindungan anak. Meskipun undang-undang sudah tersedia, efek jera masih lemah. Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 memang mengatur ancaman penjara 3–15 tahun serta denda Rp60–300 juta bagi pelaku penculikan anak. Namun, sanksi ini dipandang belum cukup kuat untuk membuat pelaku benar-benar takut.
Belum lagi persoalan penegakan hukum yang sering kali bisa “dibicarakan”. Dengan uang, hukuman dapat diringankan, bahkan pelaku bisa bebas. Akibatnya, upaya kuratif tidak berjalan optimal. Di sisi lain, upaya pencegahan pun lemah. Akses bebas terhadap media sosial memudahkan masyarakat menemukan konten kekerasan, pornografi, hingga panduan kejahatan, yang akhirnya memicu tindakan penculikan maupun pelecehan seksual. Kerusakan ini akan terus terjadi selama diterapkan sistem kapitalisme yang melahirkan paham sekulerisme di negeri ini.
Sistem Islam Melindungi Ibu dan Anak
Sebagai sistem yang sempurna, sistem Islam sangat melindungi ibu dan anak. Berbagai kerusakan di negeri ini, termasuk penculikan, merupakan dampak dari tidak diterapkannya sistem Islam di tengah masyarakat. Sistem Islam memandang bahwa negara memiliki peran sebagai perisai (junnah) dan pengurus (raa’in) bagi rakyatnya.
Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menjaga dan melindungi rakyatnya, terutama anak-anak sebagai generasi penerus. Mereka dipandang sebagai aset umat yang harus dijauhkan dari ancaman. Negara berkewajiban memastikan pendidikan mereka dibangun di atas akidah Islam, baik melalui lembaga formal maupun keluarga, serta memagari mereka dari pemikiran yang bertentangan dengan Islam, termasuk budaya liberal.
Dalam aspek penegakan hukum, Islam menetapkan sanksi tegas. Pelaku penculikan dapat dikenai hukuman takzir, yakni hukuman yang jenis dan tingkatannya ditetapkan Khalifah sesuai tingkat kesalahan. Adapun tindakan pembunuhan atau penganiayaan dikenai hukuman kisas, yaitu balasan setimpal bagi pelakunya.
Selain itu, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat, meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan.
Karena itu, kasus penculikan anak diyakini hanya akan benar-benar teratasi apabila syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat, sehingga kejahatan dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Wallahu a’lam.[]
*) Pemerhati Ibu dan Anak


Post a Comment