Header Ads


Marriage Is Scary, Luka Batin Generasi Kapitalis

Oleh: Rusnawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Pertanyaan klasik “kapan nikah?” yang biasa menghantui meja makan saat Lebaran kini mulai kehilangan taringnya. Bagi sebagian besar Gen Z dan Milenial, bayang-bayang kemiskinan jauh lebih menakutkan daripada stigma hidup melajang. Akhir Oktober 2025, media sosial Threads diramaikan unggahan tentang anak muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Unggahan viral itu disukai lebih dari 12.500 kali dan dibagikan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna, menandakan bahwa fenomena ini bukanlah hal yang sepele.


Realitas Ekonomi yang Mencekik

Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial belaka, melainkan cerminan realitas ekonomi yang menghimpit. Laporan Indonesia Millennial & Gen Z Report 2025 dari IDN Research mengungkapkan bahwa 68% Milenial dan 63% Gen Z menyebutkan ketidakstabilan ekonomi sebagai alasan utama menunda pernikahan. Prioritas mereka justru memiliki dana darurat dan hunian pribadi, bukan segera menikah.

Kekhawatiran ini sangat beralasan. Meskipun BPS melaporkan pendapatan per kapita Indonesia tahun 2024 naik menjadi Rp68,62 juta per tahun atau Rp6,55 juta per bulan, biaya hidup juga melonjak tinggi. Di Jakarta, misalnya, BPS mencatat biaya hidup mencapai Rp14,88 juta per bulan untuk rumah tangga berisi dua hingga enam orang. Bahkan, untuk hidup lajang di Jakarta pada 2025 diperkirakan berkisar Rp4,5 juta hingga Rp6 juta per bulan, sudah termasuk sewa tempat tinggal, transportasi, makan, dan kebutuhan lainnya.

Kesenjangan antara penghasilan dan biaya hidup semakin nyata di berbagai daerah. Di Kalimantan Timur yang dikenal sebagai provinsi dengan biaya hidup mahal, rata-rata pengeluaran rumah tangga di Balikpapan mencapai Rp9,87 juta per bulan dan Rp9,44 juta per bulan di Samarinda. Sementara itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) Kalimantan Timur untuk tahun 2025 hanya Rp3.579.313. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup layak, apalagi berkeluarga, dengan kesenjangan sebesar itu?

Lonjakan harga kebutuhan pokok memperparah situasi. Beras sebagai makanan pokok mengalami kenaikan hampir 20% pada awal tahun 2024. Ditambah lagi, persaingan kerja yang semakin ketat membuat banyak anak muda bergaji di bawah UMR, hanya berkisar Rp1–2 juta per bulan. Data BPS tahun 2025 menunjukkan hampir 10 juta Gen Z tidak sedang menempuh pendidikan maupun bekerja. Sekitar 73% Gen Z yang bekerja hanya berpendidikan hingga SMA atau di bawahnya, dengan tingkat pengangguran terdidik yang masih tinggi.

Narasi “marriage is scary” yang masif di media sosial semakin memperkuat ketakutan akan pernikahan. Penelitian Pengaruh Fenomena “Marriage is Scary” terhadap Stigma Pernikahan dan Perilaku Seksual Pra-Nikah pada Generasi Muda menyebutkan bahwa 50,6% anak muda sering terpapar konten media sosial tentang kegagalan pernikahan seperti perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga, sementara 45,5% cukup sering melihat konten serupa. Data BPS Provinsi DKI Jakarta mencatat angka perceraian mencapai 40% pada tahun 2021, semakin memperkuat rasa takut terhadap institusi pernikahan. Bahkan, 55% generasi muda memilih menunda pernikahan karena kondisi finansial yang tidak stabil dan masih fokus mengembangkan karier.


Akar Masalah Sistemik

Di balik angka-angka tersebut terdapat persoalan sistemik yang fundamental. Sistem kapitalisme yang dianut Indonesia telah menciptakan kondisi di mana biaya hidup terus meningkat, lapangan kerja semakin sempit, dan upah tidak sebanding dengan kebutuhan. Menurut Bank Dunia per tahun 2024, jumlah penduduk miskin Indonesia masih mencapai 194,4 juta jiwa atau 68,2% dari total populasi. Garis kemiskinan terus naik, dari Rp302.735 per kapita pada 2014 menjadi Rp582.932 pada Maret 2024 atau meningkat 92,5% dalam satu dekade.

Dalam sistem kapitalisme, negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Beban hidup sepenuhnya dipikul oleh individu. Kebijakan seperti UU Cipta Kerja justru dinilai menekan pendapatan masyarakat. Alih-alih mendorong peningkatan penghasilan untuk mengimbangi lonjakan biaya hidup, pemerintah lebih mengandalkan pemberian bantuan sosial yang bersifat temporer dan tidak menyelesaikan masalah struktural.

Sistem ekonomi kapitalis juga membiarkan pengelolaan sumber daya alam dikuasai swasta dan korporasi asing. Akibatnya, kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru mengalir ke kantong segelintir orang. Rakyat yang seharusnya menikmati hasil sumber daya alam malah harus membayar mahal untuk kebutuhan dasar seperti listrik, air, dan bahan bakar.

Pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan turut membentuk generasi yang terpapar materialisme dan hedonisme. Dr. Ida Ruwaida, dosen Sosiologi UI, mengungkapkan bahwa masih banyak anak muda bergaya hidup konsumtif dan terjebak dalam fear of missing out (FOMO). Standar hidup tinggi yang terus ditampilkan di media sosial menciptakan tekanan psikologis dan budaya perbandingan sosial yang tidak sehat. Media liberal dengan nilai-nilai materialistiknya telah membentuk pola pikir bahwa kesuksesan diukur dari harta dan kemewahan.

Akibatnya, pernikahan dipandang sebagai beban finansial yang menakutkan, bukan sebagai ibadah atau institusi mulia untuk melanjutkan keturunan dan menjalani sunah Rasulullah saw. Pandangan pragmatis seperti “cinta tidak bisa bayar KPR” menunjukkan betapa kuatnya tekanan ekonomi hingga mengalahkan nilai-nilai spiritual. Seperti yang diungkapkan Rara (25), seorang karyawan swasta di Samarinda, gajinya yang sedikit di atas UMR habis untuk biaya hidup dan membantu orang tua, sehingga ia merasa belum mampu menikah.


Islam sebagai Solusi

Islam menawarkan solusi komprehensif yang menyasar akar masalah, bukan sekadar tambal sulam. Dalam pandangan Islam, sistem kehidupan harus dibangun di atas fondasi akidah Islam yang kuat. Berikut konstruksi solusi dalam sistem Islam:


1. Jaminan Kebutuhan Dasar dan Lapangan Kerja yang Luas

Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara: pangan, sandang, dan papan. Ini bukan janji politik, melainkan kewajiban syar’i. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negara wajib membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang adil dengan:

(1) Mengembangkan sektor riil yang menyerap tenaga kerja massal.

(2) Memfasilitasi wirausaha dengan modal tanpa riba.

(3) Menerapkan sistem ujrah yang mencukupi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya.


2. Pengelolaan Milkiyyah ‘Ammah untuk Kesejahteraan Rakyat

Sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak wajib dikelola negara. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Hasilnya dikembalikan kepada rakyat melalui layanan publik murah atau gratis, subsidi kebutuhan pokok, dan perumahan layak.


3. Pendidikan Berbasis Akidah Membentuk Generasi Berkarakter

Pendidikan Islam membentuk kepribadian yang tidak terjebak materialisme dan hedonisme, melainkan berorientasi pada ridha Allah dan kemaslahatan umat.


4. Penguatan Institusi Keluarga dan Kemudahan Menikah

Negara memfasilitasi pernikahan melalui bantuan dana, perumahan terjangkau, jaminan kesehatan, dan pendidikan gratis bagi anak. Rasulullah saw. bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku berbangga dengan banyaknya kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).


Penutup

Fenomena generasi muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah adalah sinyal kegagalan sistem kapitalisme dalam menghadirkan kesejahteraan. Ketakutan ini rasional, namun solusinya bukan bertahan dalam sistem yang rusak.

Islam menawarkan sistem yang terbukti mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan selama lebih dari 13 abad. Sistem Khilafah bukan utopia, melainkan solusi nyata yang patut dipertimbangkan kembali untuk menjawab krisis multidimensi hari ini.

Wallahu a’lam bishawab.


*) Pemerhati Masalah Generasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.