Kelaparan di Gaza Bukan Musibah, Tapi Kejahatan Terorganisir
Oleh: Asma Sulistiawati*)
IndonesiaNeo, OPINI - Hingga awal Agustus 2025, Gaza bukan hanya menjadi medan perang, tetapi ladang kematian akibat kelaparan yang dipelihara oleh sistem. Bukan bencana alam, bukan pula kelalaian semata melainkan akibat kebijakan yang disengaja dan dunia yang memilih diam. Di balik angka-angka statistik yang dilansir lembaga internasional, tersembunyi rintihan anak-anak yang tubuhnya tinggal tulang, ibu-ibu yang tak mampu menyusui, dan keluarga-keluarga yang menunggu bantuan yang tak kunjung tiba.
Pada 12 Mei 2025, UNICEF dan World Food Programme (WFP) mengeluarkan pernyataan bersama yang menyebut bahwa lebih dari 300.000 warga Gaza, termasuk 71.000 anak-anak, berada dalam risiko kelaparan akut. Angka ini meningkat tajam setelah Israel memperketat blokade atas Gaza sejak awal Maret 2025, termasuk menutup jalur pengiriman bantuan kemanusiaan. (unicef.org, 12 Mei 2025)
Bulan berikutnya, WFP merilis laporan bahwa hampir seluruh penduduk Gaza mengalami krisis pangan tingkat parah. Sekitar 470.000 di antaranya telah masuk fase lima atau kelaparan katastropik berdasarkan skala IPC. (wfp.org, 24 Juni 2025)
Fakta paling memilukan datang dari laporan WHO pada 27 Juli 2025. WHO mencatat, sepanjang bulan Juli saja, sedikitnya 63 orang meninggal karena malnutrisi, termasuk 24 anak-anak balita. (who.int, 27 Juli 2025)
Organisasi PBB untuk Koordinasi Kemanusiaan (OCHA) menambahkan bahwa dalam dua minggu pertama Juli, 4.800 anak-anak di bawah lima tahun didiagnosis mengalami malnutrisi akut. Tiga belas dari mereka meninggal. Sementara itu, lebih dari 1.000 warga sipil tewas sejak Mei 2025 saat mencoba mengakses bantuan makanan, termasuk dalam serangan terhadap titik distribusi yang diawasi pasukan Israel. (ocha.org dan The Times of Israel, Juli 2025)
Blokade yang diberlakukan Israel membuat bantuan kemanusiaan tak bisa masuk dengan leluasa. Truk bantuan tertahan di perbatasan, gudang-gudang penuh dengan pasokan makanan, namun pendistribusian terhambat oleh persyaratan keamanan yang ketat dan izin yang dipersulit. WFP melaporkan lebih dari 40.000 ton bantuan pangan tertahan di Rafah. (wfp.org, Juli 2025)
Kelaparan yang Disengaja
Kondisi ini mencerminkan bahwa kelaparan di Gaza bukan musibah yang tak terhindarkan, melainkan hasil dari kebijakan sistematis dan pengepungan terencana. Kehancuran terhadap infrastruktur pangan seperti pertanian, pabrik roti, dan gudang logistik telah memperparah situasi. Bahkan, menurut laporan Human Rights Watch, serangan yang menghancurkan fasilitas vital ini bukan insiden sporadis, tetapi bagian dari strategi melemahkan daya tahan warga Gaza secara ekonomi dan biologis.
Namun dunia tetap bungkam. PBB memang rutin merilis kecaman, namun tidak mampu mendorong pembukaan jalur kemanusiaan yang aman. Resolusi untuk menghentikan kekerasan pun berulang kali diveto oleh negara-negara besar. Padahal, setiap jam keterlambatan bantuan berarti nyawa yang melayang. Lembaga kemanusiaan tidak cukup kuat menghadapi militerisasi distribusi. Bahkan distribusi bantuan pun kerap menjadi sasaran tembak.
Di sisi lain, media global pun nyaris tidak menjadikan krisis kelaparan di Gaza sebagai tajuk utama. Ini menambah lapisan ketidakadilan untuk warga Gaza bukan hanya kelaparan, tapi juga dibungkam dari perhatian dunia. Mereka tidak hanya kehilangan makanan, tetapi juga kehilangan hak untuk didengar.
Dalam situasi seperti ini, harapan pada sistem internasional yang berulang kali gagal menegakkan keadilan menjadi sangat kecil. Maka diperlukan cara pandang baru yang lebih fundamental dan menyeluruh.
Solusi Islam dengan Membebaskan, Bukan Menyambung Napas Sementara
Islam memandang pangan sebagai hak dasar yang harus dijamin sepenuhnya oleh negara. Dalam sejarah Islam, para pemimpin seperti Umar bin Khattab langsung turun tangan membawa gandum ke rumah rakyat yang kelaparan. Tanggung jawab terhadap kebutuhan pokok rakyat tidak boleh ditunda, apalagi diabaikan.
Dalam sistem Islam, kekayaan negara, hasil bumi, serta dana dari zakat, wakaf, dan infaq dikelola bukan untuk kepentingan elit, tetapi digunakan secara langsung untuk menjamin kehidupan rakyat. Tak ada tempat bagi rakyat yang kelaparan selama negara memiliki sumber daya. Negara tidak akan bergantung pada donor asing atau izin musuh untuk menyelamatkan rakyatnya.
Lebih jauh lagi, Islam menyerukan solidaritas global yang nyata. Negara-negara Muslim tidak boleh membiarkan satu wilayah tertindas tanpa bantuan dan pembelaan. Sistem Islam mewajibkan penguasa untuk membela wilayah Muslim yang diserang, bukan sekadar mengutuk dan menyumbang sembako. Perintah Allah dalam Al-Qur'an untuk menolong saudara seiman yang terdzalimi adalah kewajiban umat Islam sedunia.
Dengan pendekatan ini, solusi terhadap kelaparan di Gaza tidak lagi berhenti pada pengiriman bantuan, tetapi mengarah pada penghapusan total terhadap blokade, pendudukan, dan sistem penjajahan. Dunia Islam harus bersatu, tidak hanya dengan doa dan simpati, tetapi dengan kekuatan diplomatik, ekonomi, dan bahkan militer jika diperlukan untuk membuka jalur hidup bagi rakyat Gaza.
Umat Islam pun bisa berperan besar dalam skala individu maupun komunitas. Menggalang dana, menyebarkan informasi yang benar, menekan pemerintah agar bersikap tegas, serta terus mengangkat isu ini di ruang publik adalah bentuk nyata keberpihakan. Karena solidaritas adalah senjata paling tajam saat kekuasaan berpihak pada penjajah.
Kelaparan di Gaza adalah cermin kegagalan sistem dunia yang ada hari ini. Namun ia juga bisa menjadi titik balik kesadaran umat manusia bahwa nyawa tidak boleh dinilai berdasarkan kebangsaan, agama, atau afiliasi politik. Bahwa kemanusiaan seharusnya tidak dibatasi oleh veto dan perbatasan.
Gaza adalah luka kita bersama. Dan luka itu hanya akan sembuh jika kita berani menyuarakan kebenaran dan memperjuangkannya. Wallahu'alam.[]
*) Praktisi Pendidikan
Post a Comment