Sekolah Rakyat, Mampukah Memutus Rantai Kemiskinan?
Oleh: Ninning Anugrawati, S.T., M.T.*)
IndonesiaNeo, OPINI - Secara umum, permasalahan yang selalu menjadi beban utama bagi masyarakat adalah masalah ekonomi dan pendidikan. Keduanya saling berkelindan. Anak putus sekolah merupakan permasalahan yang belum bisa diselesaikan oleh negeri ini. Bahkan, banyak anak yang sejak kecil hingga dewasa belum pernah mengenyam bangku pendidikan. “Sebanyak 227 ribu anak usia SD di Indonesia belum pernah sekolah atau putus sekolah. Angka ini melonjak drastis di jenjang SMP menjadi 499 ribu anak, dan SMA mencapai 3,4 juta anak” (Menpan.go.id, 21/7/2025). Padahal, pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi suatu negara yang dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Negara yang ingin maju tentu akan lebih memperhatikan masalah pendidikan, termasuk Indonesia yang telah lama mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, bahkan kini menjadi 12 tahun. Namun tetap saja, angka putus sekolah tidak dapat dibendung. Kehidupan ekonomi yang sulit menyebabkan banyak anak terpaksa turun ke jalan untuk membantu mencari nafkah. Jangankan mem
Oleh karena itu, pemerintah menghadirkan tambahan solusi berupa program Sekolah Rakyat, yakni sekolah gratis bagi orang miskin dengan sistem boarding, mulai dari tingkat SD hingga SMA. Program ini disinyalir dapat menekan angka putus sekolah dan mempermudah lulusannya dalam memperoleh pekerjaan, karena mereka memiliki ijazah SMA setelah lulus dari program tersebut. Sehingga, diharapkan bisa memutus rantai kemiskinan. Pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat sebagai salah satu langkah strategis untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini merupakan inisiatif langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini sulit mengakses pendidikan berkualitas (Menpan.go.id, 21/7/2025). Namun dalam penerapannya, tidak semua masyarakat miskin bisa ikut serta karena kuotanya terbatas dan hanya diperuntukkan bagi siswa dengan kriteria tertentu. Siswa miskin yang berprestasi akan mendapat prioritas. Sayangnya, hal ini bisa memicu ketimpangan baru, padahal setiap warga negara berhak atas pendidikan yang berkualitas.
Di sisi lain, patut dipertanyakan apakah program ini benar-benar dapat memutus rantai kemiskinan yang telah lama menggerogoti negeri? Sebelumnya, pemerintah sudah menjalankan program serupa untuk mendukung pendidikan bagi siswa kurang mampu, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), sekolah gratis, dan sebagainya. Namun semua itu belum mampu mengatasi lonjakan angka putus sekolah. Permasalahan utama banyaknya anak putus sekolah adalah faktor ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen dibandingkan September 2024. Meski secara umum jumlah penduduk miskin menurun, hal itu tidak menggambarkan peningkatan kesejahteraan. Terlebih, BPS menyebut penduduk miskin di kota justru bertambah 0,07 persen akibat kenaikan jumlah pengangguran dan harga pangan. Pengangguran merupakan masalah signifikan yang dihadapi negeri saat ini. Menurut data BPS tahun 2025, lulusan SMA sederajat adalah penyumbang pengangguran tertinggi. Bahkan, pengangguran juga meningkat signifikan p
Demokrasi Penyebab Kemiskinan Terstruktur
Fenomena tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan kegagalan sistem demokrasi sekuler dalam memenuhi hak-hak rakyat. Hal ini wajar karena secara sistemik, demokrasi dibentuk atas kerja sama antara penguasa dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang lahir lebih mengutamakan kepentingan keduanya dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Demokrasi mendorong liberalisme dalam semua bidang, termasuk ekonomi. Kebijakan ekonomi Indonesia yang berbasis liberal menyerahkan kepemilikan sumber daya alam sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Maka, hanya para kapitalis—yang kuat secara finansial—yang mampu menguasainya, karena pengelolaan SDA seperti tambang membutuhkan biaya besar dan teknologi tinggi. Negara justru memfasilitasi kondisi ini melalui berbagai regulasi seperti UU Minerba, UU Kehutanan, UU Penanaman Modal, dan UU Cipta Kerja. Wajar jika kekayaan alam yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang, sedangkan sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan. Konflik sosial pun tak dapat dihindari.
Selain itu, jebakan globalisasi dari negara adidaya menjadikan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terperangkap dalam hegemoni kapitalis global. Perekonomian dan pasar dunia dibuka lebar terhadap kekuatan ekonomi raksasa, terutama perusahaan multinasional dari Amerika. Mereka dengan mudah menghisap kekayaan negeri-negeri muslim yang kaya. Dominasi atas ekonomi global telah menyebabkan kemiskinan dan ketidaksetaraan meningkat. Tiga perempat dari seluruh kekayaan dunia hanya dimiliki oleh segelintir orang. Investasi asing yang menggurita justru memeras kekayaan alam dan meninggalkan penderitaan serta kerusakan lingkungan. Forbes Global 2000 mencatat daftar perusahaan multinasional terbesar tahun 2025, dengan Amerika Serikat memimpin melalui 612 perusahaan, diikuti Tiongkok (317), Jepang (180), India (70), dan Inggris (68). Maka, tak heran jika muncul orang super kaya seperti Bill Gates dan Elon Musk. Sementara itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 700 juta orang di dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan 99 persen manusia lainnya. Di Indonesia, jika menggunakan standar garis kemiskinan Bank Dunia, maka jumlah penduduk miskin yang pengeluarannya di bawah Rp49.244 per kapita per hari mencapai 68,2 persen dari total populasi pada tahun 2024, atau sekitar 285,1 juta orang.
Berbagai persoalan di negeri ini tak lepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalis. Pemerintah memang telah berupaya menghadirkan berbagai solusi, termasuk untuk menekan angka anak putus sekolah akibat kemiskinan. Namun, solusi tersebut belum menunjukkan hasil memuaskan. Bahkan, justru menghasilkan masalah baru karena tidak menyentuh akar persoalan. Sistem ekonomi kapitalis memberikan kebebasan kepada para pengusaha untuk mengeruk kekayaan alam dan menikmati sebagian besar keuntungannya. Negara hanya mendapatkan sedikit, berupa pajak dan royalti. Di sisi lain, korupsi semakin merajalela, dan rakyat terus terhimpit oleh pajak sebagai sumber utama APBN. Lapangan kerja pun tidak tersedia secara memadai. Kalaupun ada, upahnya tidak sebanding dengan kebutuhan hidup. Dalam sistem kapitalisme, upah buruh ditentukan berdasarkan batas minimum biaya hidup. Jadi, meskipun masyarakat mendapat bantuan dari pemerintah, itu tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Bantuan langsung seperti dana tunai atau pembangunan sekolah gratis yang parsial adalah solusi sesat yang ditawarkan oleh United Nations Development Program (UNDP). Solusi ini hanya memalingkan umat dari akar persoalan. Yang semestinya dilakukan adalah mencampakkan sistem demokrasi kapitalis dan menggantinya dengan sistem Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh manusia.
Islam Solusi Terbaik
Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap anak. Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Orang berpendidikan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. Ilmu juga memberi banyak manfaat untuk membangun peradaban. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan pendidikan. Betapa pentingnya pendidikan ditunjukkan oleh Nabi Saw., yang menjadikan tebusan bagi tawanan perang Badar dengan mengajarkan anak-anak Madinah menulis. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang berkata: “Ada beberapa tawanan pada hari Perang Badar yang tidak memiliki tebusan. Rasulullah Saw. menjadikan tebusan mereka dengan mengajarkan anak-anak kaum Anshar menulis.”
Dalam Islam, negara wajib memastikan terpenuhinya hak dasar rakyat, seperti keamanan, sandang, kesehatan, dan pendidikan. Sebagaimana sabda Nabi Saw.: “Imam/khalifah/kepala negara adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Para khalifah setelah Nabi Saw. juga memperlihatkan perhatian besar pada kebutuhan dasar rakyat. Dalam kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab berkata kepada pegawainya, “Jika kamu memberi, cukupkanlah.” Beliau juga menikahkan kaum muslim yang tidak mampu, membayar utang mereka, dan memberikan bantuan bagi para petani.
Kemiskinan memang tidak bisa dihindari, namun dalam sistem demokrasi sekuler, kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar. Sistem ini menjunjung kebebasan memiliki harta sebanyak mungkin. Akibatnya, kekayaan hanya beredar di kalangan tertentu saja. Islam memiliki mekanisme untuk mengatasi kemiskinan. Pertama, pengaturan kepemilikan harta. Kekayaan tidak boleh beredar hanya di kalangan orang kaya (QS Al-Hasyr: 7). Sumber daya alam harus dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Dalam hadis disebutkan: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). SDA haram dimiliki individu apalagi asing. Allah berfirman: “Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang mukmin.” (An-Nisa: 141).
Kedua, Islam mewajibkan zakat bagi muslim yang memenuhi syarat dan menekankan pentingnya infak dan sedekah. Ketiga, laki-laki dewasa yang memiliki tanggung jawab nafkah wajib bekerja. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (Ath-Thalaq: 7). Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja. Nabi Saw. pernah memberi dua dirham kepada seorang Anshar: satu dirham untuk makan, satu lagi untuk membeli kapak agar bekerja mencari kayu bakar (HR Ibnu Majah). Bahkan, nafkah atas orang fakir yang tak memiliki penanggung nafkah akan ditanggung negara. Nabi Saw. bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan harta, itu untuk ahli warisnya. Siapa yang meninggalkan orang lemah, itu urusan kami.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Syariah menetapkan pengeluaran Baitul Mal untuk mendanai kebutuhan ini. Allah Swt. berfirman: “Sungguh zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin...” (At-Taubah: 60). Selama sistem demokrasi sekuler tetap diterapkan, umat manusia akan terus berada dalam keterpurukan. Sudah saatnya kita memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam dalam naungan negara Islam yang menerapkan syariat secara kaffah.[]
*) Pengamat Kebijakan Publik
Post a Comment