Lalu Lintas dan Keselamatan Nyawa: Saatnya Kembali kepada Islam Kaffah
Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd*)
IndonesiaNeo, OPINI - Angka kecelakaan lalu lintas di Sulawesi Tenggara kembali menjadi alarm serius bagi kita semua. Meski jumlahnya menurun dibanding tahun lalu, data terbaru menunjukkan bahwa ratusan nyawa dan masa depan masyarakat masih terancam akibat budaya berkendara yang abai terhadap aturan.
Sepanjang Januari hingga September 2025, Sulawesi Tenggara mencatat 1.254 kasus kecelakaan lalu lintas. Kota Kendari menempati posisi tertinggi dengan 360 kasus, disusul Konawe 214 kasus, Konawe Selatan 109 kasus, Kolaka 105 kasus, Baubau dan Buton masing-masing 86 kasus, Bombana 57 kasus, Muna 52 kasus, Konawe Utara 40 kasus, Kolaka Timur 35 kasus, Kolaka Utara dan Buton Tengah masing-masing 34 kasus, Wakatobi 30 kasus, serta Buton Utara 12 kasus. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2024 yang mencapai 1.625 kasus.
Dirlantas Polda Sultra, Kombes Pol Argowiyono, menyebut angka tersebut mencerminkan budaya berkendara masyarakat Sultra. Ia menegaskan pihaknya terus melakukan langkah preventif, di antaranya edukasi rutin di titik-titik rawan kecelakaan untuk mengingatkan pengendara agar tidak melawan arus, serta penyuluhan kepada pelajar menjelang usia 17 tahun yang akan mendapatkan SIM. Argowiyono juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menaati aturan lalu lintas demi mencegah terjadinya kecelakaan (Kendariinfo.com, 22/9/2025).
Melihat fenomena ini, dapat dipahami bahwa angka kecelakaan lalu lintas mencerminkan tantangan yang lebih luas, yakni bagaimana membangun kesadaran kolektif dan menghadirkan solusi yang menyentuh akar persoalan.
Dalam sistem kapitalisme, lalu lintas dan transportasi lebih sering dipandang sebagai komoditas daripada kebutuhan publik. Pembangunan infrastruktur jalan, pengelolaan transportasi umum, hingga perizinan kendaraan kerap ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan kepentingan bisnis, bukan demi keselamatan masyarakat secara menyeluruh. Akibatnya, jalan yang seharusnya menopang mobilitas rakyat justru kerap tidak memadai. Transportasi umum minim dan tidak terintegrasi, sementara kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat karena menjadi satu-satunya pilihan. Kondisi ini melahirkan kepadatan, kesemrawutan, dan risiko kecelakaan yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Kendari.
Selain itu, sistem kapitalisme membentuk budaya individualis dalam berkendara, di mana setiap orang cenderung mementingkan kepentingan pribadi di atas keselamatan bersama. Aturan lalu lintas dipatuhi sejauh tidak merugikan diri sendiri, sementara nilai moral dan tanggung jawab sosial menjadi terpinggirkan. Negara pun lebih berperan sebagai regulator administratif, misalnya melalui penerbitan SIM dan aturan lalu lintas, tanpa memberikan pendidikan mendalam berbasis akidah. Padahal, kesadaran bahwa melanggar aturan lalu lintas berarti membahayakan nyawa orang lain dan termasuk perbuatan zalim seharusnya ditanamkan sejak awal. Inilah akar persoalan mendasar dalam sistem kapitalisme: keselamatan di jalan raya tidak pernah benar-benar dijadikan prioritas utama, melainkan hanya bagian kecil dari urusan teknis yang tidak menyentuh sisi ideologis dan moral masyarakat.
Berbeda dengan Islam yang memandang lalu lintas sebagai bagian dari urusan kemaslahatan umum (masalih al-ummah) yang wajib diatur negara demi menjaga jiwa manusia (hifzhun nafs). Prinsip dasar syariat menegaskan bahwa nyawa seorang Muslim lebih mulia dibandingkan dunia seisinya. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim tanpa hak" (HR. Tirmidzi).
Dari prinsip ini, lalu lintas bukan semata urusan teknis, melainkan bagian dari amanah negara untuk menjamin keamanan dan keselamatan rakyat di jalan raya. Setiap pelanggaran lalu lintas yang membahayakan orang lain dipandang sebagai bentuk kedzaliman yang dilarang keras dalam Islam.
Dalam Muqaddimah ad-Dustur dan Nidhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa negara wajib mengatur seluruh sarana publik, termasuk jalan raya, dengan ketentuan syariat. Pengaturan itu mencakup pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan, penetapan aturan lalu lintas yang menghindarkan bahaya, serta pengawasan ketat atas kelayakan kendaraan dan pengemudi. Dalam pandangan Islam, terdapat mekanisme untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar layak mengemudi tanpa membahayakan orang lain. Semua kebijakan ini dikelola oleh negara dengan prinsip pelayanan, bukan komersialisasi, karena jalan dan transportasi adalah bagian dari kepemilikan umum yang haram dijadikan sumber keuntungan.
Jika penguasa lalai dan tidak serius mengurus keselamatan rakyat di jalan, Islam memberikan ancaman keras. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Siapa saja yang Allah jadikan pemimpin atas rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga" (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejarah peradaban Islam membuktikan kesungguhan negara dalam melindungi nyawa rakyatnya, termasuk dalam urusan transportasi dan mobilitas.
Pada masa Khilafah, jalan-jalan dibangun kokoh dan aman, pengawasan dilakukan secara teratur, bahkan pos-pos pengamanan dipasang di jalur-jalur penting untuk menjaga keselamatan para musafir dan kafilah dagang. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Islam diterapkan secara menyeluruh, lalu lintas bukan hanya teratur, tetapi juga menghadirkan rasa aman yang meneguhkan kemuliaan peradaban.
Lebih lanjut, sejarah kegemilangan Islam mencatat bahwa jaringan jalan raya pada masa Khilafah dibangun bukan hanya untuk kelancaran mobilitas, tetapi juga untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan umat. Di era Abbasiyah, misalnya, negara membangun jalur kafilah yang dilengkapi pos keamanan, tempat istirahat, hingga penerangan dengan obor agar perjalanan malam tetap aman. Di Andalusia, sistem jalan kota dirancang rapi dan terhubung dengan pasar, masjid, serta pusat pemerintahan, sehingga aktivitas masyarakat berlangsung tertib. Bahkan, Ibnu Battuta dalam perjalanannya mencatat betapa aman dan teraturnya jalur transportasi di wilayah Islam, hingga hampir tidak ditemukan perampokan maupun kekacauan di jalan. Fakta ini menunjukkan bahwa ketika Islam ditegakkan secara kaffah, lalu lintas dan transportasi benar-benar menjadi cermin jaminan keamanan, keteraturan, dan kemajuan peradaban.
Karena itu, sudah saatnya kita menyadari bahwa akar persoalan lalu lintas dan keselamatan masyarakat tidak akan terselesaikan tuntas dalam bingkai sistem kapitalisme yang serba parsial. Islam telah menawarkan prinsip, aturan, dan teladan sejarah yang terbukti membawa kemaslahatan dan keamanan bagi umat manusia. Maka, marilah kita kembali kepada Islam secara kaffah, dengan memperjuangkan tegaknya Daulah Khilafah yang akan menerapkan syariat secara menyeluruh, sehingga setiap nyawa terlindungi, setiap jalan menjadi aman, dan kemuliaan peradaban kembali terwujud.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
*) Pengamat Isu Sosial
Post a Comment