Header Ads


Lonely in the Crowd: Dampak Buruk Sosial Media dalam Sistem Sekuler Liberal

Oleh: Rusnawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Global Digital Report dari Data Reportal melaporkan bahwa ada 5,25 miliar orang yang aktif di media sosial. Uniknya, perasaan terhubung di media sosial ternyata tidak serta-merta menghilangkan rasa kesepian yang dialami seseorang. Ironisnya, individu bisa sangat aktif di dunia maya dengan ribuan follower dan interaksi digital, namun tetap mengalami minimnya interaksi sosial yang bermakna di dunia nyata.

Fenomena ini menarik perhatian kalangan akademisi, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY yang melakukan riset mendalam berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.” Penelitian tersebut mengungkap bagaimana platform media sosial seperti TikTok berkontribusi terhadap perasaan kesepian yang paradoksal di tengah keramaian digital.

Menurut teori hiperrealitas yang dikembangkan dalam penelitian tersebut, representasi digital kerap dianggap lebih “nyata” daripada realitas sesungguhnya. Kondisi ini menyebabkan emosi yang dibentuk oleh media dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap kesehatan mental dan pola hubungan sosial seseorang. Ketika batas antara realitas dan representasi digital menjadi kabur, individu terjebak dalam ilusi koneksi yang dangkal dan tidak memenuhi kebutuhan sosial fundamental mereka.

Fenomena di atas dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, generasi yang terluka. Masyarakat di era digital, terutama Generasi Z, menghadapi tantangan mental yang serius. Mereka disebut sebagai generasi yang paling merasakan kesepian, insecure, bahkan mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, permasalahan ini bukan sekadar soal kurangnya literasi digital atau buruknya manajemen penggunaan gawai. Akar permasalahan jauh lebih dalam dan sistemik. Sistem sekuler liberal telah menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai material dan individualistik mendominasi. Media sosial yang dikuasai industri kapitalis raksasa dirancang untuk memaksimalkan engagement dan profit, bukan untuk kesejahteraan penggunanya. Algoritma justru memanfaatkan kerentanan psikologis manusia untuk menciptakan kecanduan dan ketergantungan.

Kedua, dampak industri kapitalis. Industri kapitalis telah berhasil menciptakan arus di media sosial yang menimbulkan berbagai dampak buruk, dengan sikap asosial sebagai salah satu konsekuensi terparahnya. Masyarakat menjadi semakin sulit bergaul dan berinteraksi secara autentik di dunia nyata. Bahkan di lingkungan terdekat seperti keluarga, pola hubungan antaranggota keluarga menjadi terasa jauh dan hampa. Fenomena ini melahirkan generasi yang secara fisik hadir tetapi secara emosional dan sosial absen. Mereka lebih nyaman berinteraksi melalui layar daripada tatap muka langsung, yang pada akhirnya mengikis kemampuan empati dan komunikasi interpersonal yang sehat.

Ketiga, ancaman bagi masa depan umat. Sikap asosial dan perasaan kesepian yang berkelanjutan berdampak buruk bagi umat secara keseluruhan. Generasi muda yang memiliki potensi besar untuk menghasilkan karya produktif dan inovatif berisiko menjadi generasi lemah dan tidak berdaya. Lebih mengkhawatirkan lagi, kepedulian terhadap persoalan umat menjadi tumpul ketika individu-individu terjebak dalam lingkaran kesepian dan fokus berlebihan pada diri sendiri. Solidaritas sosial dan rasa tanggung jawab kolektif terkikis oleh individualisme yang dipupuk sistem sekuler liberal melalui platform digital.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa pengaruh media sosial yang tidak dikelola dengan bijak akan menjebak semakin banyak orang dalam sikap asosial dan perasaan kesepian di tengah keramaian semu. Fenomena ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam keutuhan dan kemajuan umat secara keseluruhan.

Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya" (QS. Al-Isra: 36).

Ayat ini mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi, terutama di era digital yang sarat hoaks dan manipulasi. Umat harus memiliki kesadaran kritis terhadap konten yang mereka konsumsi.

Rasulullah SAW bersabda:

"Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menceritakan semua yang ia dengar" (HR. Muslim).

Masyarakat perlu memahami bahwa sistem sekuler liberal dengan segala produk digitalnya memiliki agenda tersembunyi yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Allah SWT berfirman:

"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai" (QS. At-Taubah: 32).

Media sosial yang dikuasai korporasi kapitalis dirancang untuk mengeksploitasi kebutuhan dasar manusia akan koneksi sosial demi keuntungan finansial, bertentangan dengan prinsip Islam tentang keadilan ekonomi dan sosial.

Langkah kedua adalah menjadikan Islam sebagai identitas utama. Solusi fundamental terletak pada penguatan identitas Islam sebagai fondasi kehidupan masyarakat. Dengan menjadikan Islam panduan hidup yang komprehensif, umat tidak akan terus-menerus menjadi korban sistem sekuler liberal.

Allah SWT berfirman:

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara" (QS. Ali Imran: 103).

Rasulullah SAW bersabda:

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur" (HR. Bukhari dan Muslim).

Nilai-nilai Islam seperti silaturahmi, gotong royong, dan kepedulian sosial menjadi antidote efektif terhadap kesepian dan isolasi digital. Dalam pandangan Islam, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat ikatan sosial dan mempermudah dakwah.

Allah SWT berfirman:

"Dan Kami jadikan dari mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami" (QS. As-Sajdah: 24).

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam harus menjadi pemimpin dalam pemanfaatan teknologi untuk kebaikan, bukan pengikut pasif yang terjerumus dalam dampak negatifnya.

Langkah ketiga adalah memastikan adanya peran negara dalam mengendalikan pemanfaatan dunia digital. Negara harus mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, agar tetap produktif dan berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat.

Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Imam (khalifah) adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa negara Islam wajib melindungi umat dari segala hal yang dapat merusak akidah, akhlak, dan kehidupan sosial, termasuk dampak negatif teknologi digital. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu" (QS. An-Nisa: 59).

Kebijakan yang diperlukan meliputi regulasi ketat terhadap algoritma media sosial, pembatasan konten yang merusak, serta promosi platform dan konten yang mendukung nilai-nilai positif. Negara juga harus berinvestasi dalam pendidikan berbasis Islamic worldview.

Sistem sekuler liberal yang menjadi akar permasalahan harus digantikan dengan sistem Islam yang kaffah. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah: 208).

Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku
" (QS. An-Nur: 55).

Dalam sistem Khilafah, teknologi digital akan diarahkan untuk memperkuat ikatan umat, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan memfasilitasi dakwah Islam ke seluruh dunia. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya" (HR. Muslim).

Sistem pendidikan dalam Khilafah akan membangun generasi dengan kepribadian Islam yang kuat (syakhshiyyah Islamiyyah). Allah SWT berfirman:

"Dan demikianlah Kami jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (QS. Al-Baqarah: 143).

Generasi dengan syakhshiyyah Islamiyyah tidak akan mudah terpengaruh propaganda kapitalis. Mereka mampu memanfaatkan teknologi secara bijak sambil menjaga prioritas pada hubungan sosial nyata dan bermakna sesuai tuntunan Islam.

Fenomena “lonely in the crowd” merupakan cerminan krisis sistemik dalam peradaban kontemporer. Sistem sekuler liberal melalui media sosial telah menciptakan ilusi koneksi, tetapi sejatinya mengisolasi individu dalam kesepian mendalam.

Solusi yang ditawarkan bukan sekadar perbaikan teknis atau peningkatan literasi digital, melainkan transformasi paradigma fundamental. Umat Islam harus kembali kepada identitas dan sistem hidup aslinya serta berjuang menegakkan sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk teknologi digital.

Hanya dengan cara ini teknologi menjadi rahmat dan alat pembebasan bagi manusia, bukan penjara digital yang mengisolasi mereka dari kehidupan sosial yang autentik dan bermakna. Masa depan generasi muda dan keutuhan umat bergantung pada keberanian kita mengambil langkah transformatif ini.

Wallahu a‘lam.[]


*) Pemerhati Masalah Generasi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.