Kapitalisme Menindas Guru, Islam Memuliakannya: Menyoal PPPK Paruh Waktu
Oleh: Rusnawati*)
IndonesiaNeo, OPINI - Kebijakan pemerintah terkait PPPK paruh waktu bagi guru kembali menuai sorotan publik. PPPK paruh waktu merupakan skema kepegawaian yang tergolong baru dalam struktur ASN di Indonesia. Berbeda dengan PPPK penuh waktu, jenis ini memungkinkan individu bekerja dalam durasi yang lebih pendek setiap harinya. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pekerja paruh waktu didefinisikan sebagai mereka yang bekerja kurang dari 7 jam per hari atau di bawah 35 jam per minggu.
Berdasarkan perhitungan upah per jam, guru honorer yang diangkat menjadi PPPK paruh waktu menerima gaji sekitar Rp18.750 per jam. Dengan asumsi bekerja 25 jam per minggu atau 100 jam per bulan, penghasilan yang diterima hanya berkisar Rp1,875 juta per bulan. Angka ini jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah tingginya biaya kebutuhan pokok saat ini.
Skema perhitungan ini didasarkan pada konversi gaji bulanan guru honorer yang sebelumnya menerima sekitar Rp2,5–3 juta untuk beban kerja penuh (40 jam per minggu), kemudian disesuaikan secara proporsional dengan jam kerja yang lebih singkat. Meski disebut sebagai terobosan untuk memberikan status ASN kepada tenaga honorer, realitasnya kebijakan ini justru melanggengkan ketidakadilan. Guru yang telah mengabdi bertahun-tahun dengan gaji minim kini “dilegitimasi” dengan status resmi, namun tetap dalam kondisi upah yang tidak mencukupi (edukasi.sindonews.com, 23/09/2025).
Ironisnya, pendidikan yang menjadi ujung tombak kemajuan bangsa justru dikelola dengan pendekatan yang sangat korporatif dan kalkulatif. Guru diperlakukan layaknya pekerja kontrak yang upahnya dihitung per jam, tanpa mempertimbangkan beban moral dan tanggung jawab besar yang mereka pikul dalam mendidik generasi penerus. Kondisi ini mencerminkan betapa negara gagal menempatkan pendidikan sebagai prioritas strategis dan lebih memperlakukannya sebagai komoditas yang harus “efisien” secara finansial.
Akar Masalah dalam Paradigma Kapitalistik
Persoalan rendahnya kesejahteraan guru bukanlah masalah teknis semata, melainkan persoalan mendasar yang bersumber dari paradigma pengelolaan negara yang kapitalistik-sekular. Dalam sistem ini, negara memandang pendidikan bukan sebagai kewajiban fundamental yang harus dijamin dengan optimal, melainkan sebagai sektor pelayanan publik yang harus “dihemat” alokasinya.
Anggaran pendidikan Indonesia yang diklaim sebesar 20% dari APBN ternyata sebagian besar tersedot untuk birokrasi, infrastruktur, dan berbagai program yang tidak menyentuh langsung kesejahteraan guru. Guru sebagai garda terdepan pendidikan justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan dalam distribusi anggaran tersebut. Pengangkatan PPPK paruh waktu dengan upah yang minim adalah bukti nyata bahwa negara lebih mementingkan efisiensi anggaran ketimbang kualitas pendidikan dan kesejahteraan pendidik.
Dalam logika kapitalisme, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai ekonomis dan profit. Pendidikan pun dipandang sebagai sektor yang harus menghasilkan return of investment secara ekonomis. Akibatnya, investasi untuk guru dianggap sebagai beban, bukan sebagai investasi jangka panjang untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Paradigma seperti ini telah mengubah profesi mulia menjadi sekadar pekerjaan dengan upah rendah tanpa penghargaan yang layak.
Lebih jauh lagi, sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara telah menghilangkan landasan nilai dalam pengelolaan urusan rakyat. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban negara yang bersumber dari nilai-nilai ketuhanan, melainkan sekadar fungsi administratif yang dijalankan sesuai kalkulasi untung-rugi. Maka tidak heran jika guru—yang dalam Islam sangat dimuliakan—justru mendapat perlakuan yang jauh dari adil dan manusiawi.
Solusi Islam: Menjamin Kesejahteraan Guru sebagai Kewajiban Negara
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam melihat pendidikan dan profesi guru. Dalam sistem pemerintahan Islam, pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara secara optimal dan berkualitas. Hal ini berlandaskan hadis Rasulullah saw.:
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, guru bukan pekerja kontrak dengan upah per jam, melainkan pegawai negara yang gaji dan kesejahteraannya dijamin penuh dari Baitul Mal (kas negara). Gaji guru tidak dihitung berdasarkan jam kerja, tetapi berdasarkan kebutuhan hidup yang layak untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder mereka beserta keluarga. Islam mewajibkan negara memberikan kompensasi yang adil dan mencukupi bagi setiap pegawai, termasuk guru, sehingga mereka dapat fokus menjalankan tugas mulia tanpa dibebani kekhawatiran ekonomi.
Sumber pendanaan pendidikan dalam Islam sangat berbeda dengan sistem kapitalis. Khilafah memiliki berbagai sumber pemasukan negara yang besar dan tidak bergantung pada pajak rakyat semata. Di antaranya adalah kepemilikan umum seperti minyak, gas, tambang, dan sumber daya alam lainnya, yang hasil pengelolaannya dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Selain itu, ada ghanimah (harta rampasan perang), fai’, kharaj (pajak tanah), dan jizyah (pajak non-Muslim). Dengan sistem ekonomi yang adil dan sumber pemasukan yang melimpah ini, negara mampu membiayai pendidikan secara gratis dan berkualitas, termasuk menggaji guru dengan layak.
Penerapan Islam dalam mensejahterakan guru dilakukan melalui beberapa mekanisme konkret. Pertama, sistem penggajian yang adil dan transparan. Khalifah akan menetapkan standar gaji guru berdasarkan kifayah (kecukupan), yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan anak, dan kesehatan keluarga. Gaji ini tidak didasarkan pada hitungan jam kerja atau sistem kontrak, melainkan sebagai jaminan hidup yang berkelanjutan.
Sejarah Khilafah memberikan bukti nyata praktik ini. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau menetapkan gaji tetap (‘atha’) bagi para guru dan ulama dari Baitul Mal. Para pengajar Al-Qur’an dan hadis mendapat gaji sebesar 15 dinar per bulan, di mana 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Dengan demikian, 15 dinar sama dengan 63,75 gram emas. Jika dikonversi dengan harga emas saat ini (sekitar Rp1 juta per gram), maka gaji guru pada masa Khalifah Umar mencapai sekitar Rp63–64 juta per bulan.
Angka ini jauh melampaui kebutuhan dasar dan memastikan guru hidup sangat layak bersama keluarga. Umar bahkan membuat daftar khusus (diwan) yang mencatat nama-nama ahli ilmu dan jumlah santunan yang mereka terima. Besaran gaji disesuaikan dengan kebutuhan hidup di wilayah masing-masing, sehingga guru di daerah dengan biaya hidup tinggi mendapat jatah lebih besar.
Kebijakan tersebut memastikan para pendidik tidak perlu mencari pekerjaan sampingan dan bisa fokus mendidik generasi Muslim. Bahkan, guru yang mengajar anak-anak yatim dan fakir tetap digaji penuh oleh negara, meskipun murid-murid mereka tidak membayar sepeser pun. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan beban yang dikomersialkan.
Kedua, penyediaan fasilitas penunjang. Negara tidak hanya memberikan gaji, tetapi juga menyediakan rumah dinas atau tunjangan perumahan bagi guru, terutama yang bertugas di daerah terpencil. Fasilitas transportasi, bantuan biaya pendidikan untuk anak-anak guru, dan akses kesehatan gratis juga menjadi bagian dari sistem jaminan kesejahteraan. Hal ini memastikan guru dapat fokus pada tugas pendidikan tanpa terbebani masalah ekonomi keluarga.
Ketiga, sistem rekrutmen dan pengembangan kapasitas yang terencana. Khilafah akan merekrut guru berkualitas dengan proses seleksi yang ketat namun adil, kemudian memberikan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi mereka. Tidak ada lagi dikotomi guru honorer dan PNS; semua guru yang memenuhi syarat akan diangkat sebagai pegawai negara dengan status yang sama. Negara juga menyediakan beasiswa bagi calon guru untuk menempuh pendidikan tinggi, sehingga regenerasi guru berkualitas terus terjamin.
Keempat, penghargaan sosial dan spiritual. Islam mengajarkan bahwa guru adalah pewaris para nabi dalam menyebarkan ilmu. Negara akan membangun budaya menghormati guru melalui kebijakan yang memuliakan profesi ini, bukan hanya secara materi tetapi juga secara moral. Guru yang berprestasi akan mendapat penghargaan khusus dari negara, dan status sosial mereka dijaga setara dengan para pejabat tinggi negara.
Dalam sistem Khilafah, tidak akan ada lagi guru honorer dengan gaji pas-pasan atau sistem kontrak yang memperlakukan guru layaknya buruh. Setiap guru yang memenuhi kualifikasi akan diangkat sebagai pegawai negara dengan gaji mencukupi dan dijamin seumur hidup. Negara juga akan menyediakan fasilitas pendukung seperti rumah dinas, transportasi, dan berbagai tunjangan lain yang memastikan guru dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dan bermartabat.
Lebih dari itu, Islam menempatkan guru sebagai profesi yang mulia dan terhormat. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang menghormati orang yang berilmu melainkan Allah akan memuliakannya.”
Penghormatan ini bukan hanya dalam bentuk simbol atau ucapan, tetapi diwujudkan dalam kebijakan nyata berupa kesejahteraan, penghargaan, dan jaminan hidup yang layak. Dengan demikian, guru akan bekerja dengan penuh dedikasi, tidak terbebani masalah ekonomi, dan mampu menghasilkan generasi yang berkualitas secara intelektual dan spiritual.
Pendidikan dalam Islam adalah investasi terbesar negara untuk membangun peradaban. Karena itu, tidak ada kompromi dalam hal kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah (menyeluruh), persoalan seperti gaji guru yang rendah dapat diselesaikan secara tuntas dan berkelanjutan.
Wallahu a‘lam bis-shawab.[]
*) Pemerhati Kebijakan Publik
Mungkin bisa dihilangkan saja sertifikasi guru spy bisa dialihkan utk peningkatan gaji pppk paruh waktu.
BalasHapus