Header Ads


Menjadikan Pesantren sebagai Pelopor Kebangkitan Islam

Oleh: Asma Sulistiawati*)


IndonesiaNeo, OPINI - Sebuah kabar menggembirakan datang dari dunia pesantren. Dalam acara Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional yang digelar di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Menteri Agama Republik Indonesia KH Nasaruddin Umar menyampaikan ajakan penting bagi umat Islam.

Dalam berita yang dimuat di situs resmi Kementerian Agama (kemenag.go.id) pada 9 Oktober 2024, Menag menegaskan bahwa kegiatan MQK dapat menjadi anak tangga pertama menuju kembalinya The Golden Age of Islamic Civilization atau Zaman Keemasan Peradaban Islam.

Menurutnya, kebangkitan itu harus dimulai dari pesantren sebagai benteng paling kuat yang dimiliki Indonesia. Beliau juga menekankan pentingnya perpaduan antara kitab kuning dan kitab putih, yakni integrasi ilmu agama dan ilmu umum, yang jika dipadukan akan melahirkan insan kamil atau manusia paripurna. Menag bahkan meyakini bahwa kebangkitan peradaban Islam dapat berawal dari Indonesia selama pesantren mampu menjaga lima unsur sejatinya, yaitu masjid, kiai, santri, tradisi membaca kitab turats, dan kebiasaan khas pesantren.

Pernyataan ini tentu membangkitkan semangat. Di tengah krisis moral dan gempuran sekularisme global, suara agar pesantren mengambil peran strategis dalam membangun peradaban Islam terasa seperti embusan udara segar. Namun demikian, arah dari seruan kebangkitan tersebut perlu dikaji lebih dalam agar tidak terjebak dalam romantisme sejarah semata.


Menelusuri Arah Kebangkitan Pesantren

Penetapan tema besar Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” sepintas terdengar membanggakan. Tema ini seakan ingin mengembalikan semangat juang santri dalam membangun bangsa dan dunia. Namun, jika dicermati dalam konteks kehidupan modern yang berasaskan sekularisme-liberalisme, muncul pertanyaan mendasar tentang makna “peradaban dunia” yang dimaksud.

Apakah yang ingin dibangun adalah peradaban Islam yang bersumber dari wahyu, atau peradaban global modern yang mengusung nilai-nilai sekuler namun dibungkus dengan simbol-simbol keislaman?

Realitas menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, arah kebijakan terhadap pesantren mulai bergeser. Pesantren yang dulunya dikenal sebagai pusat tafaqquh fiddin, kini banyak diarahkan menjadi lembaga “duta moderasi beragama”, “motor ekonomi pesantren”, dan “pusat perdamaian sosial”. Narasi semacam ini secara halus menggeser pesantren dari peran aslinya sebagai pencetak ulama pejuang dan penjaga akidah umat, menuju peran baru sebagai agen perubahan sosial versi sekulerisme.

Padahal, sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam yang agung tidak lahir dari kompromi antara nilai Islam dan ideologi Barat. Peradaban Islam justru muncul ketika syariat diterapkan secara kaffah dalam kehidupan masyarakat. Dari situlah lahir generasi ulama dan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi, yang menjadikan ilmu bukan sekadar alat mencari manfaat duniawi, tetapi sebagai jalan menuju ridha Allah.

Namun, sistem sekuler yang berlaku hari ini justru memisahkan agama dari seluruh aspek kehidupan. Akibatnya, pendidikan Islam direduksi menjadi sarana pengembangan moral, bukan ideologi pengatur kehidupan. Dalam sistem ini, keberhasilan pesantren diukur dari seberapa besar kontribusinya terhadap ekonomi dan toleransi sosial, bukan dari sejauh mana ia melahirkan generasi penegak syariat.

Inilah akar masalah yang kerap tidak disadari. Ketika agama hanya diletakkan di ranah pribadi, pesantren pun kehilangan daya ideologisnya. Santri diarahkan untuk menjadi akademisi adaptif, bukan mujahid dakwah. Mereka belajar kitab turats, namun tidak diarahkan untuk menjadikan ilmu itu sebagai pedoman menegakkan Islam secara menyeluruh.

Bahkan, gagasan “integrasi kitab kuning dan kitab putih” bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dimaknai sebagai sinergi ilmu syar’i dan sains untuk memperkuat peran Islam di dunia, tentu baik. Tetapi jika justru diartikan sebagai kompromi antara wahyu dan sekularisme, maka arah kebangkitan itu akan menjauh dari makna sejatinya.

Maka, kebangkitan Islam tidak cukup diwujudkan hanya dengan memodernisasi sistem pendidikan pesantren. Ia memerlukan perubahan mendasar dalam paradigma berpikir umat, dari sekadar mengislamkan budaya modern menuju membangun kehidupan yang sepenuhnya berasaskan Islam.


Solusi Islam Menuju Peradaban Sejati

Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang sempurna. Allah telah berfirman:

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan atas seluruh agama” (QS. At-Taubah: 33).

Ayat ini menjelaskan bahwa Islam diturunkan bukan sekadar untuk diamalkan secara individu, tetapi untuk menata kehidupan secara keseluruhan, membangun peradaban yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi manusia.

Peradaban Islam sejati memiliki empat fondasi utama. Pertama, asasnya adalah akidah Islam sebagai dasar berpikir dan penentu arah kebijakan. Kedua, ukuran amalnya adalah halal dan haram, bukan manfaat ekonomi. Ketiga, makna kebahagiaannya adalah ridha Allah, bukan kesenangan duniawi. Keempat, tujuannya adalah menegakkan keadilan, ilmu, dan kesejahteraan di bawah naungan hukum Allah.

Pesantren memiliki peran penting dalam proyek besar kebangkitan ini, tetapi ia tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa dukungan sistem yang sejalan dengan prinsip Islam. Maka, perjuangan kebangkitan peradaban harus diarahkan pada dakwah politik Islam, yakni dakwah yang menyeru kepada penerapan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Melalui dakwah politik Islam inilah akan lahir masyarakat yang diatur dengan hukum Allah, yang menempatkan ulama dan pesantren sebagai pengarah moral sekaligus penjaga ideologi umat.

Langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

Pertama, mengembalikan kurikulum pesantren agar kembali pada tujuan awalnya, yaitu mencetak ulama dan pejuang dakwah yang memahami Islam sebagai sistem hidup, bukan sekadar pengetahuan agama.

Kedua, menumbuhkan kesadaran politik Islam di kalangan kiai dan santri agar mereka memahami bahwa Islam memiliki aturan menyeluruh dalam pemerintahan, ekonomi, dan sosial.

Ketiga, memperkuat jaringan dakwah antarpesantren dan masyarakat untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah, sebagaimana dilakukan Rasulullah saw. dalam membangun masyarakat Madinah.

Jika langkah ini ditempuh, pesantren akan kembali menjadi pusat dakwah ideologis, bukan sekadar lembaga pendidikan formal. Dari pesantren akan lahir generasi yang berilmu, berani, dan berkomitmen memperjuangkan syariat Allah. Mereka tidak akan takut berbicara benar di hadapan kekuasaan, karena memahami bahwa tugas utama santri adalah menjadi warasatul anbiya—pewaris perjuangan para nabi.


Penutup

Seruan Menteri Agama agar pesantren menjadi pelopor kebangkitan Islam patut diapresiasi. Namun, kebangkitan itu tidak boleh hanya berhenti pada tataran seremonial. Kebangkitan yang sejati adalah ketika Islam kembali dijadikan asas kehidupan, bukan sekadar inspirasi moral. Pesantren perlu berdiri di garda depan dalam perjuangan ideologis ini agar kebangkitannya tidak terseret oleh arus sekularisme yang terus mendominasi dunia.

Jika pesantren mampu kembali pada jati dirinya, insyaallah dari rahimnya akan lahir generasi pembaharu yang menghidupkan kembali peradaban Islam yang berkeadilan, berilmu, dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Dan hanya di bawah sistem Islam yang kaffah—yakni Khilafah Islamiyyah—cita-cita itu akan menemukan bentuknya secara nyata.

Wallahu a‘lam.[]


*) Pemerhati Umat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.