Ketakutan Penguasa Terhadap Kesadaran Politik Gen Z
Oleh: Windih Silanggiri*)
IndonesiaNeo, OPINI - Pada tanggal 25–31 Agustus 2025 telah terjadi demonstrasi di berbagai daerah atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat terkait kenaikan tarif pajak dan tunjangan Anggota DPR yang fantastis. Demo yang berasal dari sejumlah buruh dan mahasiswa ini berakhir ricuh. Hasil dari penindakan hukum terhadap peristiwa ini, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Syahardiantono, mengumumkan bahwa total tersangka adalah 959 orang yang terdiri dari 664 orang dewasa dan 295 anak-anak (tempo.co, 24-9-2025).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aris Adi Leksono, menyebutkan bahwa penetapan 295 tersangka berusia anak-anak tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Peradilan Anak. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam kerusuhan sosial, serta pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
Selain itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Anis Hidayah, mengingatkan adanya potensi pelanggaran HAM dalam penetapan anak-anak sebagai tersangka anarkisme, karena proses penyelidikan sarat ancaman dan intimidasi.
Kesadaran Politik Gen Z Tumbuh, Berujung Diskriminalisasi
Fenomena banyaknya anak yang menjadi tersangka kericuhan demonstrasi menandakan bahwa Generasi Z mulai sadar akan politik dan berani menuntut perubahan atas ketidakadilan yang mereka rasakan semakin tidak masuk akal. Kehidupan Gen Z yang sangat dekat dengan dunia digital mengakibatkan informasi bisa mereka terima dengan cepat, mulai dari kesenjangan ekonomi, sosial, hingga kebijakan politik yang tidak memihak rakyat.
Namun, kesadaran politik yang muncul justru dihilangkan dengan label anarkisme. Mereka tidak mendapatkan apresiasi positif atas kesadarannya. Yang ada justru penguasa dengan sengaja membuat stigma negatif untuk Gen Z agar publik semakin buta terhadap rusaknya tata kelola negara Indonesia. Ini adalah bentuk pembungkaman agar generasi muda tidak kritis terhadap penguasa.
Kasus pembungkaman Gen Z oleh penguasa menunjukkan bahwa penguasa sebenarnya takut dengan gelombang kesadaran politik di masyarakat, khususnya Gen Z. Penguasa ketar-ketir jika kesadaran politik ini dibiarkan, maka akan mengganggu kepentingan para korporasi besar dan elite politik. Oleh karena itu, penguasa sengaja menakut-nakuti mereka dengan tindak hukum agar kesadaran politik mereka menjadi tumpul. Inilah potensi besar yang dimiliki oleh Gen Z sebagai agen perubahan.
Sistem Demokrasi-Kapitalisme yang mengagung-agungkan Hak Asasi Manusia (HAM), salah satunya kebebasan berpendapat, nyatanya tidak bisa diperuntukkan bagi seluruh rakyat. Jika suara yang disampaikan sejalan dengan kepentingan elite politik dan korporasi besar, maka akan dilindungi. Sebaliknya, jika suara yang muncul malah mengancam kepentingan elite politik, maka akan dibungkam, dijegal, bahkan dihilangkan. Bila perlu dijadikan tersangka.
Inilah standar ganda dalam Sistem Demokrasi-Kapitalisme. Sistem yang bersumber dari akal manusia yang lemah sejatinya akan memunculkan perselisihan dan perbedaan.
Gen Z Sebagai Agent of Change
Allah telah berfirman:
"Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. ar-Rum: 54).
Ayat ini menegaskan bahwa fase pemuda adalah fase kekuatan di antara dua kelemahan, yaitu kelemahan saat masih anak-anak dan kelemahan saat sudah tua dan beruban. Hal ini merupakan petunjuk dari Allah bahwa pemuda adalah tonggak perubahan.
Jika pemudalah yang akan menjadi tonggak perubahan dan penopang peradaban, maka kesadaran politik yang sudah muncul harus diarahkan menuju perubahan hakiki, bukan perubahan semu tanpa ujung yang jelas. Perubahan ini haruslah berasal dari Sang Pencipta, yaitu perubahan menuju Islam kaffah.
Islam mewajibkan setiap muslim melakukan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk melakukan koreksi terhadap penguasa ketika berbuat zalim. Oleh karena itu, suara kritik rakyat, termasuk pemuda, tidak boleh dibatasi atau dihilangkan. Hal ini semata-mata untuk melakukan kontrol kepada penguasa, bukan karena kepentingan yang lain.
Betapa pentingnya mekanisme amar ma’ruf nahi munkar ini, seorang Khalifah akan membentuk karakter pemuda dengan pendidikan berbasis akidah Islam. Salah satu tujuan dari pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian Islam pada diri setiap anak didik. Pola pikir dan pola sikap pemuda akan berlandaskan pada Islam, bukan kepentingan. Sehingga visi hidupnya semata-mata hanya untuk Islam.
Kesadaran politik mereka bukan tumbuh dari emosional sesaat dan pada akhirnya menyuarakan solusi pragmatis, melainkan tumbuh dari kesadaran politik yang benar. Mereka akan memahami bahwa politik di dalam Islam adalah pengurusan urusan umat. Jika definisi politik ini tidak sesuai dengan realita penerapan oleh penguasa, maka umat, termasuk pemuda, akan melakukan koreksi. Pemuda akan menuntut penguasa untuk kembali kepada penerapan hukum Islam.
Selain itu, di dalam sistem pemerintahan Islam terdapat institusi yang bertugas untuk menyelesaikan perselisihan antara umat dengan penguasa. Institusi ini disebut Qadhi Madzalim. Penguasa tidak boleh memecat Qadhi Madzalim ketika sedang dalam penyidikan kasus. Perjuangan pemuda benar-benar terarah untuk kemuliaan Islam. Mereka melakukannya hanya untuk menggapai ridha Allah.
Inilah mekanisme Islam dalam membentuk karakter pemuda penopang peradaban Islam. Waktu dan tenaga pemuda akan produktif pada hal-hal yang bermanfaat untuk perjuangan yang hakiki, bukan perjuangan semu.
Wallahu a’lam bishshawab.[]
*) Pemerhati Remaja
Post a Comment