Job Hugging: Cermin Ketidakpastian Pasar Kerja dalam Bayang Kapitalisme Global
Oleh: Rusnawati*)
IndonesiaNeo, OPINI - Fenomena job hugging atau kecenderungan untuk bertahan dalam satu pekerjaan meski telah kehilangan minat dan motivasi, kini semakin marak di kalangan kaum muda. Fenomena ini melanda Indonesia maupun Amerika Serikat. Data menunjukkan bahwa jumlah PHK di Indonesia meningkat dari sekitar 25.000 pada 2022, naik menjadi 64.800 pada 2023, dan kembali meningkat pada 2024 mencapai 77.900. Kondisi ini disertai dengan tingkat pengangguran Indonesia yang naik menjadi 4,91 persen pada kuartal ketiga 2024, dari 4,82 persen pada kuartal pertama 2024. Situasi pasar kerja semakin memprihatinkan dengan dominasi pengangguran pada kelompok usia muda 15–24 tahun yang mencapai 16,16 persen. Sementara itu, pertumbuhan upah rata-rata hanya 1,29 persen pada Agustus 2024 dengan rata-rata upah Rp 3,25 juta, turun drastis dari pertumbuhan 7,30 persen pada tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi yang lesu dan kinerja perusahaan yang tidak optimal semakin memperparah atmosfer ketidakpastian di pasar kerja.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyebut bahwa munculnya fenomena job hugging disebabkan oleh ketidakpastian pasar kerja. Para lulusan perguruan tinggi terjebak dalam kondisi ini demi keamanan finansial dan stabilitas hidup. Mereka memilih filosofi “lebih baik asal kerja daripada menjadi pengangguran intelektual,” meski harus mengorbankan passion dan potensi diri.
Akar Permasalahan Kapitalisme Global
Fenomena job hugging di kalangan kaum muda dianalisis sebagai akibat struktural dari lima akar permasalahan utama dalam sistem Kapitalisme Global.
- Pertama, Kegagalan Sistem Kapitalisme dalam Menjamin Pekerjaan. Sistem kapitalisme gagal menciptakan lapangan kerja yang stabil dan bermakna karena mengutamakan profit di atas kesejahteraan. Tenaga kerja dipandang sebagai komoditas yang disesuaikan melalui PHK massal ketika profit perusahaan menurun, menciptakan ketidakstabilan struktural. Pekerja terpaksa menerima kondisi kerja yang tidak ideal, upah stagnan, dan beban berlebihan karena persaingan yang tidak sehat, menjadikan job hugging sebagai respons defensif. Fokus pada profit jangka pendek mengabaikan investasi dalam pengembangan SDM (pelatihan, karier), menyebabkan pekerja kehilangan motivasi dan makna. Sistem ini menciptakan polarisasi ekstrem kekayaan, memaksa mayoritas pekerja bertahan dalam pekerjaan apa pun karena kemiskinan relatif dan keterbatasan pilihan.
- Kedua Privatisasi Tanggung Jawab Negara. Negara melepaskan kewajiban menyediakan lapangan kerja dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar, bertransformasi dari regulator aktif menjadi fasilitator pasif atau “penjaga malam”. Paradigma neoliberal dan kebijakan deregulasi memberikan keleluasaan penuh kepada korporasi. Hal ini memicu fenomena race to the bottom (kompetisi upah termurah) akibat relokasi produksi multinasional, serta siklus boom-bust yang menghasilkan volatilitas tinggi dan PHK instan, memaksa pekerja bertahan dalam pekerjaan apa pun. Negara kehilangan instrumen untuk melindungi pekerja dari eksploitasi, dan standar kerja menjadi subjek negosiasi yang melemahkan posisi tawar pekerja. Fragmentasi perlindungan sosial (pensiun, kesehatan) menjadi tanggungan perusahaan atau individu, memperkuat ketergantungan pekerja pada pekerjaan saat ini sebagai jaring pengaman sosial.
- Ketiga, Monopoli Sumber Daya oleh Kapitalis. Negara melegalkan penguasaan sumber daya alam dan aset produktif oleh segelintir kapitalis, menciptakan konsentrasi kekayaan dan oligopoli yang merugikan rakyat. Konsentrasi ini menciptakan struktur ekonomi timpang di mana segelintir kapitalis menguasai sektor kunci, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi pekerja upahan. Dampaknya adalah “pemiskinan struktural” di daerah kaya sumber daya, di mana masyarakat lokal justru menganggur atau menjadi buruh upah rendah. Sistem perbankan mempersulit akses modal UMKM (bunga tinggi), sementara konglomerat mudah mendapatkannya, menciptakan siklus kaya semakin kaya. Konsentrasi kekayaan juga berimplikasi pada kontrol politik (crony capitalism), di mana regulasi dibentuk untuk menguntungkan bisnis besar. Ekonomi menjadi sangat bergantung pada segelintir perusahaan besar, sehingga masalah pada perusahaan tersebut berujung pada PHK masif, dan rakyat terpaksa job hugging karena tidak ada alternatif ekonomi.
- Keempat, Dominasi Ekonomi Non-Riil dan Ribawi. Fokus utama sistem kapitalis adalah spekulasi dan transaksi keuangan yang tidak produktif (ekonomi kasino), mengabaikan sektor riil yang menyerap tenaga kerja. Financialization mengubah prioritas perusahaan menjadi obsesi terhadap nilai saham dan return jangka pendek, yang berujung pada pemangkasan biaya (PHK) daripada investasi produktif. Sistem perbankan berbasis bunga (ribawi) mendistorsi alokasi modal, lebih tertarik mendanai aktivitas spekulatif (properti, saham) daripada sektor riil seperti manufaktur. Praktik debt-driven growth dan beban bunga yang terus meningkat menyedot sumber daya dari pengembangan sektor produktif. Model bisnis private equity sering berfokus pada buy, strip, flip (akuisisi, pangkas tenaga kerja, jual kembali) yang justru mengurangi lapangan kerja. Akibatnya adalah jobless growth—pertumbuhan ekonomi (PDB/nilai saham) yang tidak diikuti oleh penciptaan lapangan kerja yang memadai, memaksa pekerja untuk job hugging.
- Kelima, Liberalisasi Perdagangan dan Lepas Tangannya Negara. Prinsip liberalisasi perdagangan menjadikan negara lepas tangan dalam menjamin warganya bekerja, merugikan tenaga kerja lokal melalui kompetisi bebas. Perjanjian perdagangan bebas (WTO/GATS) memaksa negara membuka pasar tanpa perlindungan, menciptakan kompetisi global yang tidak seimbang antara tenaga kerja lokal dan asing. Offshoring dan outsourcing menghilangkan jutaan pekerjaan di negara asal dan menciptakan race to the bottom dalam standar upah global. Negara kehilangan instrumen proteksi (tarif, kuota), menyebabkan industri domestik gulung tikar. Kurikulum pendidikan tinggi yang berorientasi global (link and match) justru menciptakan homogenisasi keahlian yang mudah digantikan tenaga kerja asing, menjadikan lulusan sebagai komoditas global. Praktik tax avoidance multinasional mengurangi penerimaan pajak negara, sehingga negara kehilangan sumber daya fiskal untuk intervensi positif di pasar tenaga kerja. Pekerja lokal terpaksa bersaing di pasar global tanpa perlindungan negara, membuat job hugging menjadi strategi bertahan hidup yang rasional.
Konstruksi Pandangan Islam tentang Job Hugging
Solusi Islam mengatasi akar masalah job hugging dengan menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat, serta menerapkan kebijakan ekonomi dan etika spiritual yang komprehensif.
1. Negara sebagai Penanggung Jawab Utama
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab utama untuk mengurus rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja. Hal ini sesuai dengan Muqaddimah Dustur pasal 153:
“Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat secara menyeluruh berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Negara juga menjamin kemampuan setiap individu untuk memperoleh kebutuhan pelengkap seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan.”
Konsep dasar dalam sistem Islam adalah bahwa negara (Khilafah) berfungsi sebagai ra’in (pengurus) yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mekanisme implementasi tanggung jawab negara ini dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan yang terintegrasi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelaku ekonomi aktif yang dapat melakukan intervensi langsung untuk menciptakan lapangan kerja. Negara memiliki kewenangan untuk mengelola sektor-sektor strategis ekonomi dan mengalokasikan sumber daya untuk memastikan tidak ada pengangguran struktural. Sistem akuntabilitas dalam Islam juga memastikan bahwa tanggung jawab negara ini dapat dijalankan dengan baik. Rakyat memiliki hak untuk melakukan muhasabah (koreksi) terhadap penguasa jika kebijakan ekonomi tidak berhasil menyediakan lapangan kerja yang memadai. Majelis Umat (parlemen) juga berfungsi sebagai pengawas yang memastikan negara menjalankan kewajibannya dengan baik.
Dengan demikian, dalam sistem Islam tidak akan ada fenomena job hugging karena negara menjamin ketersediaan alternatif pekerjaan yang layak bagi setiap warganya. Rakyat dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion dan kompetensinya tanpa takut menjadi pengangguran, karena sistem ekonomi dirancang untuk menyerap seluruh angkatan kerja yang ada.
2. Kebijakan Komprehensif Khilafah
Negara Khilafah akan melakukan intervensi langsung dan menerapkan kebijakan terpadu untuk menciptakan lapangan kerja struktural melalui:
- Pertama, pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Optimal. Dalam sistem Khilafah, sumber daya alam dikategorikan ke dalam tiga jenis kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya yang termasuk kepemilikan umum seperti minyak, gas, tambang logam mulia, dan sumber energi lainnya tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi swasta. Negara mengelola sumber daya ini secara langsung untuk kemudian hasilnya didistribusikan kepada seluruh rakyat. Dengan pengelolaan yang optimal ini, negara memiliki sumber pendanaan yang kuat untuk melaksanakan berbagai program pembangunan yang menyerap banyak tenaga kerja. Industri hulu yang berbasis sumber daya alam dapat dikembangkan dengan melibatkan tenaga kerja lokal, sehingga tidak ada lagi fenomena "resource curse" di mana daerah kaya sumber daya justru miskin dan pengangguran tinggi.
- Kedua, Program Industrialisasi Berorientasi Penyerapan Tenaga Kerja. Strategi industrialisasi dalam Khilafah tidak semata-mata mengejar efisiensi dan profit maksimum, tetapi juga mempertimbangkan aspek penyerapan tenaga kerja sebagai prioritas utama. Negara akan mengembangkan industri-industri yang bersifat labor intensive, terutama pada tahap awal pembangunan ekonomi, untuk memastikan setiap orang mendapat kesempatan bekerja. Negara juga akan mengembangkan kluster industri yang saling terintegrasi, sehingga terciptanya rantai nilai yang panjang dan menyerap banyak tenaga kerja. Industri besar akan dikaitkan dengan industri kecil dan menengah yang menjadi pemasok atau pengolah produk setengah jadi. Model ini memastikan distribusi lapangan kerja yang merata di berbagai tingkatan masyarakat.
- Ketiga, ihyaul mawat: menghidupkan tanah mati. Program ihyaul mawat merupakan salah satu instrumen unik dalam sistem ekonomi Islam untuk membuka lapangan kerja di sektor pertanian. Berdasarkan hadits "Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya" (HR. Tirmidzi). Negara akan memberikan hak kepada rakyat untuk mengolah tanah-tanah yang belum produktif dan menjadikannya milik mereka. Implementasi program ini akan membuka jutaan lapangan kerja baru di sektor pertanian. Lebih jauh lagi, ihyaul mawat akan menciptakan kemandirian pangan dan mengurangi ketergantungan impor. Dengan produksi pangan domestik yang kuat, negara dapat menghemat devisa dan mengalokasikan sumber daya untuk sektor lain yang dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
- Keempat, pemberian tanah produktif kepada Rakyat. Dalam sistem Islam, tanah tidak boleh dikuasai secara berlebihan oleh satu pihak jika hal tersebut merugikan kepentingan umum. Berdasarkan prinsip "tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan" serta aturan tentang ihtikar (penimbunan), negara akan melakukan redistribusi tanah produktif kepada rakyat yang membutuhkan. Program ini tidak hanya memberikan akses kepemilikan, tetapi juga dukungan untuk pengembangan usaha pertanian. Negara akan menyediakan kredit lunak tanpa bunga (qard hasan), bantuan teknis, dan akses pasar untuk hasil produksi. Dengan demikian, penerima tanah tidak hanya menjadi pemilik, tetapi juga pengusaha pertanian yang sukses.
- Kelima, penyediaan bantuan modal, sarana, dan keterampilan. Sistem ekonomi Islam mengakui bahwa tidak semua orang memiliki modal untuk memulai usaha. Oleh karena itu, negara akan menyediakan berbagai bentuk bantuan untuk memfasilitasi rakyat dalam menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Bantuan modal disediakan dalam bentuk qard hasan (pinjaman tanpa bunga) dari Baitul Mal. Sistem ini berbeda dengan kredit kapitalis yang memberatkan karena bunga. Qard hasan hanya mensyaratkan pengembalian pokok pinjaman tanpa tambahan, sehingga tidak memberatkan usaha kecil dan menengah. Bantuan sarana mencakup penyediaan infrastruktur pendukung usaha seperti pasar, gudang penyimpanan, fasilitas pengolahan, dan akses transportasi. Negara akan membangun infrastruktur ekonomi yang memudahkan rakyat untuk berproduksi dan memasarkan hasil usaha mereka. Selain itu, Program pelatihan keterampilan dirancang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan potensi pengembangan ekonomi daerah. Negara akan mendirikan pusat-pusat pelatihan yang mengajarkan keterampilan teknis, manajerial, dan kewirausahaan. Pelatihan ini tidak hanya memberikan sertifikat, tetapi juga disertai dengan program inkubasi usaha dan pendampingan pasca pelatihan. Integrasi ketiga bentuk bantuan ini memastikan bahwa rakyat tidak hanya mendapatkan modal, tetapi juga kemampuan dan sarana untuk mengelola usaha dengan baik. Pendekatan holistik ini meningkatkan tingkat keberhasilan usaha dan mengurangi risiko kegagalan yang dapat menyebabkan kemiskinan dan pengangguran kembali.
3. Pendidikan dan Pekerjaan Berbasis Spiritual
Islam membingkai seluruh aktivitas ekonomi dengan iman dan akidah, menciptakan motivasi yang berkelanjutan dan menghilangkan alienasi kerja. (a) Paradigma Kerja sebagai Ibadah: Setiap pekerjaan yang halal dilihat sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motivasi utama adalah ridha Allah, bukan profit atau status sosial, sehingga menciptakan etos kerja yang kuat tanpa dikotomi pekerjaan "mulia" dan "hina". Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil usaha tangannya sendiri" (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja dengan tangan sendiri memiliki nilai spiritual yang tinggi di mata Allah. (b) Standar Halal-Haram: Aktivitas ekonomi harus melalui filter halal-haram yang ketat (melarang riba, spekulasi, dsb.). Ini berfungsi sebagai kontrol internal, membuat pekerja menolak pekerjaan yang bertentangan dengan syariat meskipun bergaji tinggi. (c) Spiritual Fulfillment: Dengan jaminan ekonomi dari negara dan fokus pada ibadah, pekerja mencari pekerjaan yang memberikan pemenuhan spiritual. Keputusan pindah kerja didasarkan pada pertimbangan moral/spiritual, bukan ketakutan ekonomi, sehingga mengeliminasi job hugging.
4. Pelayanan Negara dengan Motivasi Ibadah
Dalam sistem islam, Pejabat negara memandang jabatan sebagai amanah yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, menghasilkan tata kelola yang berintegritas. Jabatan adalah tanggung jawab berat, bukan privilege. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, tetapi manusia memikulnya" (QS. Al-Ahzab: 72). Ayat ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh seorang pemimpin.
Pejabat memiliki kesadaran kontrol internal dari Allah (akuntabilitas vertikal) dan diawasi oleh rakyat (akuntabilitas horizontal/muhasabah). Rakyat tidak hanya memiliki hak untuk memberikan kritik dan saran, tetapi juga kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar kepada penguasa jika mereka menyimpang dari syariat. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman" (HR. Muslim).
Selain itu, Pejabat dalam islam harus memenuhi standar etika yang sangat tinggi yang didasarkan pada ajaran Al-Quran dan Hadits. Mereka harus memiliki sifat-sifat terpuji seperti jujur (shidiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fathonah), dan menyampaikan kebenaran (tabligh). Dalam menjalankan tugas, pejabat harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Prinsip "la dharar wa la dhirar" (tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan) menjadi panduan dalam setiap pengambilan keputusan. Pejabat dalam islam juga dilarang keras menerima suap/gratifikasi (ghulul). Rasulullah SAW bersabda: "Hadiah kepada pejabat adalah ghulul (pengkhianatan)" (HR. Ahmad). Larangan ini menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sering merusak pelayanan publik dalam sistem lain.
Selanjutnya dalam pandangan islam, , melayani rakyat dan mengurus kepentingan mereka adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT. Khalifah Umar bin Khattab ra pernah berkata: "Jika ada seekor kambing yang mati kelaparan di tepi sungai Efrat, aku khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban dariku di hari kiamat." Pernyataan ini menunjukkan betapa tingginya rasa tanggung jawab pemimpin Muslim terhadap kesejahteraan rakyatnya. Orientasi utama adalah kesejahteraan rakyat (maslahat) sebagai bentuk ibadah. Dampak yang terjadi adanya tata kelola yang bersih dan profesional memastikan kebijakan fokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini menumbuhkan kepercayaan rakyat terhadap negara dalam menyelesaikan masalah pengangguran, dan menghilangkan alasan struktural untuk job hugging.
Penutup
Fenomena job hugging yang melanda kaum muda merupakan cerminan kegagalan sistem kapitalisme global dalam menciptakan kesejahteraan yang hakiki bagi umat manusia. Solusi komprehensif hanya dapat diwujudkan melalui penerapan sistem Islam yang menempatkan negara sebagai pengurus utama rakyat, dengan kebijakan yang holistik dan berbasis pada nilai-nilai spiritual. Hanya dengan demikian, generasi muda dapat menemukan makna sejati dalam pekerjaan mereka, bukan sekadar bertahan dalam keterpaksaan.
*) Pemerhati Kebijakan Publik
Post a Comment