Header Ads


Tahan Krisis (Bagian 2/habis)

 
Oleh: Sunarwan Asuhadi 
(Penulis Buku: Islam dan Negara Kolaboratokrasi)


Judul tulisan ini terinspirasi dari judul buku Ust. Husain Matla: Ekonomi Penyangga Jihad (2015).

Buku tersebut menyoal makna jihad dan kekuatan penyangganya.

Kekuatan penyangganya tidak hanya relevan dalam makna perang yang sesungguhnya, tetapi juga dalam makna perang memerangi wabah, dan aneka krisis lainnya.

Menariknya, Husain Matla mengunci pandangannya, bahwa konsep Ekonomi Penyangga Jihad adalah sifat bawaan Islam. Menurutnya, sudah sedemikian adanya, dasarnya dari Allah SWT. Berbeda dengan ekonomi kapitalis.

Ekonomi kapitalis konon dihasilkan oleh banyak pakar. Mulai dari akar hingga ujung daunnya.

Pakar yang dimaksud, antara lain: Adam Smith (1723 – 1790) asal Skotlandia, David Ricardo (1772 – 1823) dari Inggris, John Maynard Keynes (1883 – 1946) asal Inggris, Irving Fisher (1867 – 1947) asal Amerika Serikat (AS), juga Milton Friedman (1912 – 2006) dari AS, dll.

Para pakar tersebut: berbeda masa, berbeda negara, terutama berbeda pandangan dasar mengenai konsep ekonomi.

Konsep ekonomi yang digagasnya bersumber dari akal pikirannya belaka dan bercampur hawa nafsu. Mengabaikan wahyu.

Oleh karena itu, tak mengherankan, jika pandangan para pakar tersebut, saling bertolak belakang, antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya.

Husain Matla bahkan menyebut kapitalisme ibarat berbisnis bergelantungan di pohon. Penuh resiko: jatuh, keletihan, khawatir bercampur aduk, demikian saya memaknai.

Lalu, bagaimana sih ekonomi tahan krisis itu?

Kisah penanganan krisis ala Khalifah Umar bin Khathab salah satunya. Menggabungkan ikhtiar syar’i dan tawakal kepada Allah SWT semata.

Contoh lain? Ya, kisah Nabi Yusuf as, Sang Bendaharawan Mesir.

Ketika Mesir menghadapi masa subur tujuh tahun, lalu setelahnya terjadi krisis kemarau berkepanjangan, tujuh tahun pula lamanya. Sebagaimana tafsir mimpi sang nabi.

Salah satu pembelajarannya adalah bagaimana persiapan sebelum terjadi krisis.

Apa jadinya kalau tidak dilakukan manajemen pangan sebelum krisis Mesir terjadi?

Tak bisa dibayangkan. Bagaimana tragedi kelaparan akan menghabisi penduduk Mesir. Tujuh tahun lamanya, mengerikan.

Persiapan krisis dilakukan dengan pengetahuan. Di dalamnya ada ilmu dan teknik manajemen biomassa (pangan): pembibitan, pengolahan lahan, juga manajemen logistik (bahan makanan).

Tentu saja kepastian keamanan dan kenyamanan harus ditegakkan. Yakni, menegakan amar makruf nahi mungkar.

Pengadilan terhadap fitnah Zulaikha kepada Nabi Yusuf AS salah satu contohnya.

Kisah Nabi Yusuf AS membelajarkan kita untuk selalu mengadministrasikan sumberdaya. Tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga sumber daya manusia.

Beliau mengadministrasikan rasio stok pangan dengan jumlah warga. Mengadministrasikan dan mendistribusikan pangan agar sampai di semua warga negara, hingga di pelosok terjauh. Termasuk menumbuhkan ketahanan pangan berbasis rumah tangga.

Tak ketinggalan adalah teknologi penyimpanan logistik (pangan).

Hasilnya luar biasa.

Mesir mampu melewati masa-masa sulit. Bahkan mampu menyuplai pangan untuk beberapa wilayah di sekitarnya.

Kebijakan ekonomi Mesir pada era Nabi Yusuf AS merupakan salah satu simbol ekonomi yang tahan krisis.

Dengan demikian, ekonomi yang tahan krisis memerlukan sistem politik yang kuat untuk memayunginya.

Hanya saja, negara yang tahan krisis tidak hanya sekedar kesiapan pasokan pangan semata. Namun, meliputi kesiapan untuk seluruh jenis ancaman. Ancaman di dunia maupun ancaman di akhirat.

Ancaman dunia, berupa: kelaparan, bencana alam, wabah dan penyakit, bahkan peperangan.

Sementara itu, ancaman akhirat berupa siksa Allah SWT, akibat kekufuran ketika di dunia.

Inilah sistem ketahanan negara yang anti krisis. Sebuah sistem yang menyiapkan ketahanan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Dalam Islam, ketahanan yang disiapkan, tidak hanya berupa sumber ancaman kosmologik, berasal dari alam (bencana alam). Tetapi juga antropogenik, dari manusia, berupa peperangan maupun kezaliman lainnya.

Salah satu praktek terbaik mengenai penanganan bencana alam adalah keteladanan Khalifah Umar bin Khathab pada masa tahun kelabu. Kemarau, kelaparan, dan gempa bumi pernah terjadi di masa kepemimpinannya.

Sebagai negara, Islam mengajarkan ketahanannya bersumber pada kekuatan industri. Yakni industri yang berpijak pada politik perang. Untuk semua jenis industri strategis.

Dalilnya adalah QS. Al-Anfal ayat 60:

“Siapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi…yang (dengan persiapan itu), kalian menggetarkan musuh Allah….”

Pemahaman terhadap dalil tersebut, menghasilkan kesimpulan hukum yang lebih terperinci.

Politik jihad memerlukan pasukan. Pasukan memerlukan kemampuan untuk perang: persenjataan, transportasi, peralatan navigasi, sampai urusan logistik, dan pendukungnya.

Dalam urusan logistik, Islam memerintahkan manusia menghidupkan lahan-lahan tidur (ihya’ al mawat), agar produktif menghasilkan biomassa.

Unsur-unsur ketahanan inilah yang juga menjadi “bahan baku” kekuatan berbagai imperium dunia. Baik yang klasik: Imperium Persia dan Romawi, maupun yang moderen: komunisme dan kapitalisme.

Sayangnya, kekuatan perang dan dukungan: pasukan, persenjataan, dan logistik negara-negara imperium dibungkus dengan syahwat politik menguasai dunia semata.

Negara-negara yang memenuhi ciri imperium, pada umumnya memiliki daya tahan terhadap krisis dalam jangka pendek. Tetapi lebih lama dibandingkan dengan negara yang tak memiliki ciri imperium.

Hanya saja dalam jangka panjang, terdapat sejumlah potensi ancaman krisis. Krisis yang dimaksud adalah: keteladanan, masalah sosial, krisis finansial dan moneter.

Yang membedakan ketahanan politik negara-negara imperium dengan kekuatan Politik Islam adalah motifnya. Islam memiliki motivasi menyelamatkan dunia, seluruh dunia.

Kesamaan lainnya adalah pijakan ketahanannya berasaskan kemandirian. Semua jenis industri strategis, dimiliki dan dijalankan dalam negeri sendiri. Termasuk bahan bakunya.

Islam dan negara-negara imperium pada umumnya memotong segala bentuk ketergantungan terhadap negara lain.

Sementara itu, pembeda utama antara ketahanan politik Islam dengan seluruh jenis sistem politik lainnya adalah kekuatan spiritualitas.

Kekuatan spiritualitas adalah energi utama ketahanan sistem politik Islam.

Untuk itu, maka tak mengherankan jika sistem politik Islam dapat eksis dalam kurun waktu yang sangat panjang (13 abad).

Walaupun dalam perjalanannya, didera berbagai krisis. Tetapi senantiasa memiliki daya pulih yang tinggi. Kekuasaannya dimulai sejak fase kenabian Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin, Kekhilafahan Umayyah, Kekhilafahan Abbasiyah, sampai Kekhilafahan Utsmaniyyah.

Sayangnya, keruntuhan pada akhirnya tak bisa dielakkan. Ketika energi negara semata-mata difokuskan untuk membangun kekuatan militer semata. Tetapi mengabaikan ruhnya.

Apa rahasia hidupnya sistem Islam ini?

Ketika energi jihad setara dengan energi memelihara pemikiran Islam.

Yakni memelihara pemikiran Islam sebagai konsep (fikrah) sekaligus metode menerapkannya (thariqoh).

Demikianlah Islam menganalogikan antara kedudukan jihad dengan kedudukan memelihara ilmu agama. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 122:

“Tidak patut orang-orang mukmin keluar semuanya. Tetapi alangkah baiknya jika keluar sebagian (saja) dari tiap-tiap golongan dari mereka, supaya mereka menerima pelajaran tentang agama, dan untuk mereka ingatkan pada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka, agar supaya mereka bisa hati-hati.”

Wallahualam bissawab.(***)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.