Header Ads


Aksi Boikot Pro Pelangi, Bukan Solusi

Oleh: Anairasyifa
(Pemerhati Sosial Politik)

Pelangi setelah hujan memanglah menawan, namun 'kaum pelangi' atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ+) memanglah sangat bertentangan dengan fitrah manusia dalam kehidupan. Namun sayangnya kaum pelangi semakin merebak dan mendapat dukungan. Terbaru, aplikasi berbagi foto, Instagram makin menunjukkan dukungan kuatnya untuk kaum LGBT, tepat setelah Unilever menyatakan dukungan pada komunitas itu dalam instagram resminya.

Pro Pelangi, Boikot!

Bila merunut ke belakang, Instagram memang sudah mendukung kaum LGBT dari lama, tetapi masih belum banyak yang mengetahui. Terbukti, adanya hastag berwarna pelangi '#LGBT' yang muncul saat hari Pride Day atau pawai kebebasan. 

Sementara itu, dukungan terhadap LGBT seolah deras mengalir dari sejumlah perusahaan internasional, seperti Apple, Google, Facebook, Youtube, dan Unilever. Ini juga menunjukkan bahwa beberapa negara barat sudah menganggap LGBT sebagai hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Atas beberapa dukungan pro LGBT ini, penyuaraan boikot kembali disuarakan. Salah satunya dari MUI, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrul Tanjung, menegaskan akan mengajak masyarakat untuk beralih ke produk lain dan memboikot produk Unilever (Republika.co.id,29/06/2020).

Solusi Utopis

Membuat aksi boikot memang akan merugikan produsen, tapi tidak ada jaminan bahwa dukungan terhadap kebobrokan LGBTQ akan dihentikan. Faktanya di era dominannya kapitalisme, MNC perusahaan Multinasional dan beberapa perusahaan besar yang mendukung LGBTQ berpijak pada liberalisme-sekulerisme yang diagungkan dunia. 

Sistem kapitalisme yang dianut pula oleh Indonesia memang kental dengan liberalisme yang menjadikan kebebasan menjadi alat ukur, sehingga kepentingan dan asas manfaat menjadi pedoman. Ditambah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan syariat atau aturan agama tak terkecuali Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek tidak diindahkan. Inilah yang memberi lahan subur bagi bisnis para perusahaan besar tersebut tanpa takut kerugian walau seruan boikot senantiasa digaungkan. 

Fenomena LGBT ini memang akan semakin tumbuh subur ketika HAM menjadi “pupuk segar” dan di dukung pula oleh negara dengan dalih negara kita adalah negara demokrasi. Alhasil, LGBT kian hari makin menjadi-jadi. Merunut kebelakang aksi boikot sana sini pun kian lama akan meredam seiring waktu.

Perlawanan terhadap LGBT harus dilakukan dengan upaya sistematis yakni menghapus faham, sistem dan individu serta institusi/lembaga liberal. Sekedar penggaungan boikot, itu hanya utopis untuk meniadakan LGBT. Karena problematika LGBT hanyalah masalah cabang diantara ribuan cabang masalah  ketika suatu negara menganut kapitalisme, yakni sebuah sistem yang menjadikan manusia pembuat aturan. Padahal manusia itu lemah dan terbatas serta ada hawa nafsu yang menjadikannya membuat aturan sesuai kepentingannya saja. 

Solusi Pasti

Selaku umat Islam, Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia secara paripurna dan sempurna. Apatah lagi masalah LGBT yang sangat bertentangan dengan Islam. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam menegaskan bahwa perilaku LGBT merupakan perilaku menyimpang yang dilaknat oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah:
 “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual,”
 (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Menurut syariat Islam hukuman bagi LGBT adalah dijatuhkan dari gedung yang tinggi hingga mati. Walhasil LGBT akan mampu dicegah dan dihentikan. Penyimpangan ini bisa merusak generasi, bahkan dapat menularkan penyakit berbahaya seperti HIV-AIDS. Membiarkan mereka pun, membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain.

Hujan berpohon, panas berasal. Ini bermakna segala hal tentu ada sebabnya. Sebagaimana LGBT akar masalahnya adalah liberalisme-sekulerisme pada negara yang menganut ideologi kapitalisme. Aksi boikot bukanlah solusi melainkan haruslah diganti dengan sistem yang menjadikan aturan pencipta manusia selaku pengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dominannya ideologi Islam akan  melahirkan individu-institusi/lembaga taat dan menebar rahmat bukan pencari manfaat apalagi profit semata. Maka kembalilah kepada aturan Islam sebaik-baik aturan bagi manusia.

Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.