Header Ads


Kota Bertakwa Diterpa Prostitusi, Kapan Lagu Lama Ini Usai?

Oleh: Ummu Zhafran (Pengajar juga Pegiat Opini Islam)


Belakangan publik  geger dengan hasil telisik salah satu media online di  Kendari. Tercantum di dalamnya kondisi sebuah taman di sebelah Barat kota yang di malam hari menjelma jadi ajang bisnis esek-esek. Jujur, tak ada yang baru dari hasil telisik tersebut. 

Sebuah lagu lama yang tak kunjung usai. Sisi kelam dari kota berjuluk Kendari Bertakwa.  Kendari undercover.

Sejenak menoleh ke silam. Tahun 2014, salah satu laman berita online Kendari yang lain juga pernah menurunkan laporan investigasi dalam bentuk serial dengan headline serupa, Kendari Undercover.  Berikut kutipannya, “Kawasan Kendari Beach hanya salah satu dari sekian kawasan yang menjadi arena transaksi seks komersial yang di koordinir oleh beberapa germo. Namun ada juga Perempuan Seks Komersial (PSK) yang memilih solo karier atau tidak bergantung kepada germo. Mereka mengembangkan jaringan dan memilih pelanggan sendiri.” (suarakendari.com, 11/2/2014)

Enam tahun berlalu. Kondisinya ternyata masih seperti yang dulu. Andai pun ada yang berubah, bisa jadi hanya dari sisi sarana dan prasarana yang digunakan. Mungkin juga selera dan kriteria yang laku.  

Atas dasar ini hasil telisik di awal tulisan seakan kehilangan momen. Sebab persoalannya bukan lagi pada terkuaknya apa yang ada di balik tabir melainkan mengapa bisnis haram ini terus terjadi?  

Tentu butuh upaya sungguh-sungguh untuk menuntaskan problem ini hingga ke akar. Bila tidak, selang bertahun kemudian bisa terungkap  undercover-undercover berikutnya di tempat yang sama maupun berbeda.

Memprihatinkan, apa yang telah dilakukan selama ini ternyata belum sanggup mengatasi.  Aparat berganti. Penggerebekan demi penggerebekan juga sudah lama mengintai.  Tetap saja prostitusi masih menarik para lelaki hidung belang untuk dicari.  

Menilik lebih jauh, faktor lemahnya ekonomi  kerap dijadikan kambing hitam oleh sebagian orang juga pelaku itu sendiri. Benarkah demikian? Pada beberapa kasus ya, namun lebih banyak yang tidak. Setidaknya terdapat tiga poin penyebab utama. Ditinjau dari sudut pandang terhadap individu, masyarakat serta negara.

Pola hidup bebas, hedonis dan konsumtif harus diakui berangsur merasuk di tengah individu dan masyarakat.  Hal ini memicu sikap individualistis dan egomania. Jadilah sibuk mengejar dunia. Berlomba-lomba mengumpulkan harta. Tak peduli walau  sampai tergadai kehormatan dan harga diri. Selain itu, negara pun khilaf -kalau tidak mau dikatakan absen- dari peran sebagai  penjamin kesejahteraan rakyat sekaligus melindungi.  

Lengkap sudah. Apa yang disebutkan di atas  tentu tak bisa dinilai secara terpisah. Persoalan yang membelit individu, masyarakat dan negara seluruhnya bermuara pada ideologi kapitalisme yang berlaku. Berlepas tangannya negara dalam mengayomi dan menjaga masyarakat dari berbagai penyakit sosial adalah bukti nyatanya.  Hal yang merupakan ciri utama dari negara yang menggenggam kapitalisme- liberalisme.  

Aspek lainnya yang juga menonjol, saat kebijakan publik diukur dengan manfaat atau tidaknya alias untung maupun rugi.  No free lunch, indeed. Tak ada yang bisa  diperoleh dengan cuma-cuma. Tampak dari pajak yang dikenakan nyaris di semua lini publik hatta untuk membeli materai.  

Sangat bertolak belakang realitasnya bila Islam yang notabene warisan Rasulullah yang diterapkan. Seperti di masa Khulafaurrasyidin di Madinah kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelahnya. Syariah kaffah mutlak jadi acuan. Sementara kekuasaan adalah amanah.  Oleh sebab itu, setiap pemimpin menyadari bahwa  kelak di hari akhir setiap diri akan dihisab atas setiap amanah. Dengan sendirinya kepentingan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya selalu yang terdepan.  

Tegas Rasulullah Saw memberi peringatan, 

“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah ): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, Nabi saw. juga bersabda:

“Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya Ialu ia mati di mana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Sampai di sini akhirnya kita  paham mengapa Umar bin Abdul Aziz ra. menangis tersedu saat dibaiat sebagai khalifah. Terbayang oleh beliau betapa beratnya tugas memelihara urusan rakyat yang dipikulkan di pundaknya. Tak hanya harus menjamin setiap orang bebas dari lapar, dahaga serta kebutuhan pokok lainnya. Juga boleh pula membiarkan bila ada yang ingin berbuat maksiat. Semua dijalankan dalam koridor syariat demi menggapai rahmat bagi seluruh alam. 

Terbukti selama masa pemerintahannya, umat hidup sejahtera dengan kadar yang sulit dicari bandingnya. Bandingkan dengan kini. Ketika sebagian besar di antara PSK yang terciduk kerap berdalih, tercebur maksiat demi sesuap nasi. Untuk menyambung hidup sehari-hari.  Sebuah ironi.

Jelas kiranya, bertahan mengadopsi kapitalisme berikut anak turunannya yaitu neoliberalisme hanya meniscayakan hidup berjalan bagai pita kaset yang rusak.  Lagi dan lagi pergaulan bebas, prostitusi hingga hubungan menyimpang sesama jenis selalu siap membayangi. Sudah saatnya beralih ke Islam, tak hanya karena maslahatnya yang berlimpah dijanjikan Allah.  Terpenting karena iman yang mengharuskan. 


 Wallahualam.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.