Pilkada di Tengah Pandemi, Kepentingan Rakyat Diabaikan
Oleh: Lina Revolt (Pemerhati Sosial dan Aktivis Muslimah)
Pandemi Covid-19 ternyata belum juga ada tanda berakhir. Pasca-diterapkannya new normal lonjakan kasus suspect meningkat tajam diberbagai daerah. Bahkan baru-baru ini beberapa daerah mulai menerapkan kembali PSBB.
Namun, di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang belum mampu ditangani, Pilkada tetap ngotot dilaksanakan tahun ini. Dijadwalkan pada 9 Desember 2020 mendatang. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penundaan Pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau Perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan Perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR.(Beritasatu, 14/9/20)
Egoisme Kepentingan
Memaksakan Pilkada di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang semakin tinggi sama saja dengan membuka klaster baru bagi penyebaran virus ini. Maka wajar, jika banyak pihak yang menolaknya.
Pengamat Komunikasi Politik, M Jamiluddin Ritonga menilai, ngototnya pemerintah dan DPR menyelenggrakan Pilkada pada 9 Desember mendatang telah mengabaikan hak rakyat untuk diutamakan. Presiden seolah tengah membantah pernyataanya sendiri yang meminta agar faktor kesehatan diutamakan dari apapun.
Penolakan juga datang dari anggota DPR RI Misharti, ia meminta agar pemerintah meninjau ulang keputusan pelaksanaan Pilkada Desember mendatang. Ia menilai bahwa Pilkada akan rentan menjadi wadah penyebaran Covid-19, apalagi kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan kian rendah (21/9/20).
Polemik penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi seolah makin menguatkan pertanyaan untuk siapakah sebenarnya euforia pesta demokrasi dilakukan? Abraham Linconl mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika merujuk dari teori ini harusnya kepentingan rakyat yang diwakilkan lebih diutamakan, namun jargon tinggallah jarhon. kini, bak nyanyian sumbang, saat kepentingan rakyat diabaikan demi meraih kekuasaan.
Pelaksanaan Pemilu (Pilkada) memang sangat penting dalam sistem kapitalisme sebagai jalan meraih estafet kepemimpinan bagi penguasa. Sementara bagi para kapitalis, Pilkada adalah metode baku melanggengkan kekekuasalan mereka. Melalui Pilkada, para kapitalis bisa mencari calon pemimpin yang bisa sejalan dengan kepentingan mereka.
Bukan rahasia umum Pemilu adalah awal hubungan mutualisme antara pemilik modal dan penguasa. Karena pesta demokrasi yang mahal mengharuskan para calon memiliki modal besar untuk menang. Disinilah awal mula kredibalitas dan idealisme calon penguasa tersendera kepentingan para pemilik modal.
Itulah mengapa demokrasi sejak awal ditolak di negeri asalnya sudah sejak lama. Filsuf Socrates cenderung menolak demokrasi, bahkan mengatakan bahwa demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang yang tidak kompeten, yang kebetulan mendapat banyak suara terbanyak. Socrates memahami dengan baik bahwa rakyat tidak selelu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, kadang orang yang disukai dan dipilih bukan selalu orang yang kompeten yang membela nasib mereka. (Ignas Kleden, 2004)
Memaksakan Pilkada meski berisiko mengorbankan kesehatan rakyat. Semata-mata hanyalah egoisme kepentingan. Rakyat hanyalah tumbal politik demi meraih kekuasaan. Pilkada di tengah pandemi cenderung akan membuka peluang makin banyak kecurangan dalam penyelenggaraannya. Bahkan, akibat pandemi bisa jadi akan memasifkan money politics dan politik kotor lainnya dengan alasan bantuan sosial.
Utamakan Kesehatan Masyarakat
Mendahulukan kepentingan rakyat adalah amanah Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Negara melindungi segenap bangsa Indonesia. Termasuk didalamnya hak sehat dan bebas dari ancaman pandemi Covid-19.
Menurut Prsedium JADI (Jaringan Demokrasi Indonesia) Sultra, pemerintahan tidak akan goyah hanya dengan menunda pelaksanaan Pilkada. Ia mengingatkan bahwa tidak ada salahnya Pilkada ditunda demi keselamatan masyarakat. Jabatan yang darurat jika ada bencana itu hanya jabatan presiden. Jadi tidak masalah jika kepala daerah dipegang oleh Plt sementara waktu. Pemerintahan daerah bukan cabang pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan pusat, namun tetap dalam sistem integralistik. Indonesia bukan negara uni apalagi bentuk federal dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang punya hak veto.(telesik,28/9/20).
Sudah seharusnya pemerintah lebih mengutamakan kesahatan rakyat dan mengoptimalkan semua pikiran, perhatian dan dana Pilkada untuk mengakhiri wabah terlebih dahulu. Agar fokus penanganan wabah lebih optimal dan tidak berlarut-larut.
Keselamatan rakyat harus lebih diutamakan dari apapun. Karena penangangan wabah yang setengah-tengah justru akan membuat bangsa ini semakin terpuruk. Sudah saatnya para pemimpin menghilangkan egoisme kepentingan demi kemaslahatan bersama.
Bukankah akibat pandemi PHK besar-besaran terjadi. Jutaan rakyat tidak terpenuhi kebutuhan hidunya. Rumah sakit kekurangan kapasitas dan fasilitas. Bukankah seharusnya dana Pilkada dioptimalkan untuk menangani ini terlebih dahulu. Lalu dimana suara rakyat, saat mereka lebih membutuhkan uluran tangan pemerintah dibanding mengangkat pemimpin daerah yang baru.
Memaksakan Pilkada justru semakin menampakan kebobrokan kepemimpinan ala demokrasi kapitalisme. Dimana suara rakyat hanya berguna saat ingin meraih kekuasaan, namun aspirasi dan kepentingan rakyat dibuang seolah tak berarti saat berbenturan dengan kepentingan penguasa. Di tengah pandemi dan krisis ekonomi yang melanda saat ini, yang rakyat butuhkan adalah perhatian dan kesigapan pemerintah menyelasikan pandemi dan membuka jalan agar rakyat bisa bertahan hidup. Sudah terlalu lama rakyat negeri ini merana. Bagai anak ayam kehilangan induknya. Harus bertahan sendirian dalam ganasnya pandemi yang belum juga ada tanda akan berlalu.
Sebagai negeri muslim terbesar di dunia, seharusnya pemerintah belajar dari Rasulullah Saw. Rasulullah meninggalkan Islam dengan seperangkat solusi. Termasuk dalam penyelesaian wabah dan memilih pemimpin.
Pemimpin dalam Islam adalah junnah (perisai) sekaligus raa'in (pengembala) yang mengurusi rakyatnya sepenuh hati. Itulah mengapa dalam Islam, pemilihan pemimpin tidak dijadikan priodik lima tahunan. Tapi pemimpin diangkat untuk menjalankan amanah. Selama ia amanah dan masih mampu, maka tidak akan diganti sehingga fokus mengurusi rakyat tidak akan terpecah. Apalagi jika wabah melanda.
Kita menyaksikan dalam lembaran sejarah, ketika wabah kelaparan melanda madinah di masa pemerintahan Umar bin Khabtab, penguasa daerah dengan sigap mengirimkan bantuan ke Madinah yang menjadi pusat khilafah saat itu. Agar tidak ada saudara mereka yang kelaparan lagi. Begitulah harusnya sebuah negara ditegakkan. Penguasa daerah diangkat hanya untuk mengoptimalkan peran sang khalifah agar urusan rakjyat bisa terpenuhi dengan tepat dan efisien.
Maka sudah seharusnya, pemerintah kembali mempertimbangkan apa urgensi Pilkada dipaksakan saat ini, sementara penanganan wabah masih carut marut. Wallauhualam bissawab.(*)
Post a Comment