Header Ads


Negara Jangan jadi Pemalak? "Sembako Dikenakan Pajak"

 Oleh: Djumarno Djunuhi (Pengusaha Muslim)


Di tengah sulitnya perekonomian bangsa akibat pandemi. Nyatanya tak membuat berbagai pungutan pajak berhenti. Barub-baru ini, publik kembali dihebohkan dengan rencana pemerintah yang akan mengenakan PPN pada kebutuhan pokok atau Sembako, jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR. (Tirto.id, 11/06/2021).

Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari mengatakan bahwa kenaikan PPN baru sebatas draf. Belum diberlakukan tahun ini. Karena pemerintah masih fokus pada pemulihan perekonomian rakyat akibat Covid-19.

Meski demikian, wacana ini sudah terlanjur bergulir dan mendapat respon publik. Kekhawatiran masyarakat tak dapat ditutupi, mengingat sembako dan pendidikan adalah kebutuhan vital masyarakat.

Pajak Menghisap Rakyat

Pajak memang telah lama menjadi andalan pemasukan negara. Bahkan 70% APBN berasal dari pajak. Akan tetapi wacana mengenakan PPN pada kebutuhan vital masyarakat tentu adalah bentuk kezaliman. Karena imbasnya tentu tidak hanya kepada mereka yang mampu, akan tetapi juga akan dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah. Berbagai pajak yang sudah lama berlaku saja sangat memberatkan, apalagi jika Sembako ikut dikenakan pajak.

Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara menyampaikan kritiknya atas wacana ini. Menurutnya, memberlakukan PPN pada Sembako pasti akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan menambah presentasi kemiskinan, apalagi di tengah pandemi saat ini.

Kritik juga datang dari Komisi VI DPR PAN Eko Hendro Purnomo alias Eko 'Patrio. Eko mengatakan jika sikap pemerintah menunjukkan sikap tidak empati kepada rakyat yang tengah kesulitan akibat pandemi.  (detik.com,9/6/21).

Namun, menyeruaknya wacana ini seolah 'test on the water' oleh pemerintah kepada masyarakat untuk melihat reaksi. Jika diam lanjut, jika ribut berhenti. Hal ini bukan perkara aneh, dalam sistem ekonomi kapitalisme yang mengadopsi pemikiran Adam Smith, yaitu memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk berusaha dan bekerja dalam mengelola kekayaan dunia. Maka, peran negara memang dihilangkan. Negara hanya wasit yang mengatur ritme perlombaan individu. Sementara untuk menghidupi dirinya negara memungut pajak. Maka wajar, jika pajak adalah andalan pemasukan negara. Memalak rakyat atas nama pajak adalah ciri khas dari sistem ekonomi kapitalisme.

Maka, selama masih berpegang teguh pada sistem ekonomi kapitalisme. Berbagai pungutan yang menghisap darah rakyat akan terus diberlakukan. Pelan tapi pasti. Karena itu, sudah saatnya rakyat bersuara menolak pajak.

Islam Sejahtera tanpa Pajak

Negeri ini diberkahi dengan limpahan kekayaan alam yang maruah. Mulai dari dalam perut bumi, dasar laut hingga daratan, dipenuhi oleh kilauan sumber daya alam hayati dan non hayati. Tidak hanya itu, negeri ini juga memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Ahli lulusan kampus-kampus terbaik juga ada di negeri ini. Namun sayang, kedua potensi ini belum dimaksimalkan dengan baik.

Mengapa negeri yang kaya, namun rakyatnya harus menderita dengan pungutan pajak yang semakin mencekik. Ini menunjukan ada yang salah dengan pengelolaan negara ini. Akar masalahnya ada pada sistem pengelolaanya.

Seharusnya negara mengambil alih pengelolaan sumber daya alam dari swasta dan asing. Negara harus berani menjadi operator utama dalam pengelolaan negara. Mindset bahwa kita miskin dan tak punya modal harus diubah. Modal bukan hanya uang. Namun, aset kekayaan alam yang kita miliki adalah modal sesungguhnya. Hanya saja, butuh keberanian dan butuh sistem ekonomi yang mumpuni yang bisa mengelola anugerah Allah ini dengan baik.

Dalam Islam negara adalah penjamin kebutuhan rakyat. Maka haram bagi penguasa untuk memungut pajak dari rakyat. Apalagi menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Khalifah wajib memaksimalkan sumber daya yang ada, dikelola dengan amanah demi kesejahteraan rakyat. Haram menyerahkan pengelolaannya kepada individu maupun kelompok. Karena penguasa dalam Islam adalah Rain (pengembala) sekaligus junnah (perisai) yang akan membela kepentingan rakyatnya.

Untuk itu, sudah saatnya Bangsa ini melihat pada solusi alternatif. Bukankah negeri ini negeri muslim terbesar di dunia? seharusnya bangsa ini mau menjadikan sistem Islam sebagai pengelola perekonomian. Sehingga rakyat negeri ini bisa sejahtera tanpa pajak. Andaikan kita mau, tentu kita lebih dari mampu untuk menjadi negara adidaya yang sejahtera.
 
Wallahualam bissawab.(*)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.