Bendungan Ladongi, Rakyat Sentris atau Kapitalis Sentris?
Nisa Revolter (Freelance Writer)
Indonesia negara
zamrud khatulistiwa. Negeri kita tercinta yang kaya akan sumber daya alam.
Tidak salah jika mata dunia menyorotinya. Alamnya tak kalah bersaing di kancah
internasional. Karena potensi ini, beberapa daerah dilirik untuk dikembangkan.
Seperti dilansir
telisid.id (8/9/21), akan ada kunjungan kepala negara di Kabupaten Kolaka Timur
pada bulan oktober nanti. Kedatangan Presiden Joko Widodo tersebut untuk
meresmikan Bendungan Ladongi. Bendungan ini diperkirakan akan rampung di akhir
bulan september 2021, sejak mulai dibangun pada 2016 lalu. Bendungan Ladongi
yang merupakan satu dari 13 bendungan yang masuk di dalam Proyek Strategis
Nasional (PSN) memakan biaya sebesar Rp.1,2 triliun.
Bendungan ini
nantinya difungsikan untuk menahan aliran sungai dan sebagai sumber pengairan
areal persawahan. Dengan ini dapat menjaga agar roda perekonomian masyarakat
tetap berputar.
PSN, Benarkah untuk
Ekonomi Rakyat?
Sejatinya, tidak salah negara menetapkan kebijakan demi pembangunan wilayahnya. Apalagi Indonesia dengan kategori negara berkembang adalah negeri yang kaya sumber daya alam. Tentu untuk menuju negara maju, negara perlu meningkatkan basis infrastuktur negaranya.
Hal inilah yang
menjadi alasan PSN diaktualisasikan. Lebih dari delapan pulau menjadi sasaran
PSN. Dana yang digelontorkan tidak main-main. Wilayah Sulawesi saja ada 27
proyek yang memakan total biaya Rp.155 triliun, termasuk Kabupaten Kolaka
Timur.
Jika ditotalkan,
lebih dari 2000 triliun dikeluarkan hanya untuk menunjang PSN termasuk pembuatan
bendungan. Dengan biaya yang tidak sedikit itu, negara tidak bisa mengandalkan
APBN. Maka disinilah peluang investor menjadi lebih besar.
Benar saja, Menteri
Keuangan, Sri Mulyani ternyata telah menerbitkan aturan untuk jaminan
pelaksanaan PSN terbaru yang ia tuang dalam Peraturan Menteri Keungan (PMK).
Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan minat investor (Tempo.co, 30/6/21).
No free lunch. Jika
infrastruktur dipegang kendali oleh investor, bukan tidak mungkin negara pun
bisa dikendalikan oleh investor. Padahal infrastruktur adalah fasilitas umum
yang tidak boleh dimonopoli oleh pihak tertentu. Jika memang untuk rakyat, maka
harusnya fasilitas milik rakyat tidak ada intervensi oleh asing. Alih-alih
ekonomi rakyat meningkat, justru keuntungan proyek hanya berputar pada kantung
investor. Maka, tidak salah jika dikatakan proyek ini bukan untuk rakyat.
Salah Kaprah
Pembangunan Infrastruktur, Islam Solusi Tuntas
Kekacauan pembangunan negara nampak sejak dilegalkannya berbagai kebijakan nyeleneh. Ujung dari penetapan kebijakan adalah kerjasama yang saling menguntungkan. Tak ayal, negara pun menggandeng pemilik modal (kapitalis) untuk aktualisasi kebijakan.
Jika modal yang
digelontorkan para kapitalis besar, tentu akan menguntungkan negara. Sebagai harga
yang harus dibayar, negara memberikan akses para kapitalis untuk menguasai
wilayahnya.
Itulah kepentingan.
Pun dalam pembangunan infrastruktur, negara jelas mementingkan para kapitalis,
bukan rakyat. Sistem kapitalisme-lah yang menjadi sebab kekacauan ini. Standar
untung rugi masih menjadi acuan, rakyat sentris tidak ada dalam rumus sistem ini.
Padahal sudah
menjadi tugas negara untuk mengurus rakyatnya. Pembangunan fasilitas umum pun
dilakukan sebagai bagian dari
pengurusan rakyat. Sumber dana dananya jelas tidak mengandalkan pinjaman asing.
Karena negara yang berdaulat adalah negara tanpa dikte asing ataupun investor.
Dalam Islam, negara
mempunyai strategi pembiayaan pembangunan infrastruktur. Karena fasilitas
tersebut milik umum, maka sumber dana pun harus dari kepemilikan umum. Negara
kita kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, tambang dan gas. Negara
perlu melakukan defensi dan proteksi semua sumber daya alam tersebut. Hasil
pengolahan dan pengeluarannya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.
Hal ini yang
dilakukan Rasulullah Saw ketika menjadi kepala negara, yakni mendefensi
kepemilikan umum untuk kemaslahatan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
"Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah dan Rasul-Nya"
(HR Abu Dawud). Begitupula, harta fa'i yang diperoleh negara setelah perang,
dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana dalam Allah jabarkan di
dalam QS. al-Hasyr ayat 6-10. Dana dari kepemilikan umum itu akan dipakai
khusus untuk urusan publik seperti infrastruktur, bahkan juga cukup untuk
membiayai fakir miskin. Selain itu, negara juga boleh mengambil pajak dari
rakyat untuk pembiayaan infrastruktur, namun sebagai solusi akhir jika memang
kas negara kosong.
Demikianlah
pengaturan Islam dalam membangun infrastruktur negara. Dengan begitu tidak akan
ada celah untuk asing bermain. Rakyat pun akan nyaman, karena merasakan penuh
manfaat dari infrastruktur tersebut. Namun, hal ini bisa terwujud jika Islam
terterapkan, bukan kapitalisme.
Wallahu a'lam bishshowab.
Post a Comment