Pajak Kian Beragam, Negara di Ambang Kehancuran?
Oleh: Ratni Kartini, S.Si
(Pemerhati
Kebijakan Publik)
“Di
antara tanda sebuah negara akan hancur terlihat dari semakin besar dan beraneka
ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya”(Ibnu
Khaldun).
Pada
tahun 2021 ini, pemerintah telah berhasil mengesahkan Rancangan Undang-undang
(RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang kemudian berganti
menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (HPP). Di dalam UU tersebut mengatur besaran tarif PPN
umum menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen. Kenaikan PPN ini mulai
efektif berlaku 1 April 2022 (Www.kompas.com,
14/10/2021).
Awalnya, pemerintah juga berencana mengenakan
pajak PPN pada komoditas sembako. Namun, pajak PPN sembako ini kemudian
dibatalkan setelah menuai kritik dari masyarakat. Sebelumnya, pajak juga telah
diberlakukan pada toko kelontong dan online shop. Dalam pemberlakuan pajak untuk usaha toko
tersebut digunakan skema tarif yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP)
Tentang Pajak Penghasilan dengan peredaran bruto tertentu.
Beragamnya objek wajib
pajak yang terus digenjot untuk menambah penerimaan pendapatan negara saat ini,
mengindikasikan bahwa negara kita menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Lalu apa yang
akan terjadi jika hal ini terus dilakukan? Benarkah dengan semakin banyaknya
pajak yang dipungut akan membawa negara ini kepada jurang kehancuran? Adakah
solusi lain untuk mengatasi persoalan pajak ini?
Pajak, Sumber Pendapatan Utama Negara atau Sumber
Malapetaka?
Sudah menjadi pemahaman
bersama, negara yang menerapkan sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai
salah satu sumber pendapatan negara yang utama selain dari utang. Pajak menjadi
tulang punggung negara. Dengan pajak, pembangunan negara ditopang. Selain itu,
pajak merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam menstimulus peningkatan
sektor ekonomi.
Namun tentu saja adanya
penerapan kebijakan pajak pada rakyat, lambat laun akan menjadi sumber
malapetaka bagi negara. Hal ini disebabkan adanya berbagai pungutan yang
diambil dari rakyat secara zalim dan tidak sesuai syariat, tidak akan membawa
kemaslahatan dan keberkahan. Yang terjadi malah akan membawa ke dalam jurang
kehancuran.
Berkaca pada sejarah negara adidaya
terdahulu yaitu Romawi dan Persia. Keduanya ambruk dikarenakan ditariknya
berbagai macam pajak atas rakyatnya tanpa peduli hidup rakyat sengsara. Dikutip
dari Media Umat bahwa Prof. Dr. Akram Dhiya’
dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah telah menggambarkan tentang Romawi. Selain
ekonomi berbasis riba dan adanya penimbunan harta, Kaisar Heraklius mewajibkan
pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah
kekuasaan Romawi. Tujuan dari pajak ini untuk menutup hutang besar pembiayaan
perang dengan Persia.
Dampak dari adanya pajak-pajak tersebut
memang membuat pendapatan negara semakin besar tetapi membuat rakyat semakin
sengsara. Imperium Romawi mengalami penurunan drastis disebabkan oleh
semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktivitas bisnis,
diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.
Sampai-sampai rakyatnya harus menjual tanahnya untuk membayar pajak dan keluar
meninggalkan kotanya.
Hanya saja, sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan di
negara kita lebih memfokuskan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang bersifat
tetap. Sepertinya tidak ada cara lain untuk mendapatkan sumber pemasukan
negara, kecuali dari pajak. Padahal jika
saja negara mau, negara bisa mengoptimalkan pendapatan negara dengan mengelola sumber
daya alam kita yang melimpah ruah. Tentu saja dengan pengelolaan yang bersumber
dari aturan Allah Swt.
Sumber APBN dalam
Islam
Berbeda
dengan sistem kapitalisme, sistem Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber
utama pendapatan negara. Dalam Islam, sumber-sumber pemasukan negara dikelola
oleh Baitulmal. Sumber-sumbernya diambil dari beberapa pos yang penetapannya
sudah diatur oleh syariat Islam.
Ada tiga
sumber pendapatan utama negara dalam Islam, yaitu: Pertama, sektor kepemilikan individu,
seperti sedekah, hibah, zakat dll. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan
harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak
bumi, gas, ekosistem hutan dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan
negara seperti jizyah, kharaj, fai’, usyur dll.
Pajak
akan dipungut jika Baitulmal mengalami defisit anggaran. Kekosongan kas di
Baitulmal ini menjadi kewajiban kaum Muslimin. Namun, pungutan pajak itu pun
hanya berlaku pada rakyat yang kaya saja. Saat pembiayaan telah
mencukupi, maka penarikan pajak akan dihentikan. Jadi, pemberlakuan pajak dalam
Islam bersifat temporal. Bukan pemasukan paten sebagaimana dalam sistem Kapitalisme.
Tentu
saja selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini, maka pajak senantiasa akan
ditarik dari rakyat. Rakyat akan terbebas dari beragam pungutan pajak, ketika
Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara. Sudah saatnya kita memperjuangkan
tegaknya syariat, niscaya kesejahteraan dan keberkahan akan menaungi negeri ini.(*)
Post a Comment