Header Ads


Dibalik RUU DOB : Peduli Papua atau Pemilu?

 


Oleh: Ummu Raihan (Pegiat Literasi)

Papua, pulau di ujung indonesia dengan julukan bumi cendrawasih, saat ini sedang digodok oleh pemerintah pusat agar pecah menjadi tiga provinsi. Komisi II DPR menargetkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua bisa disetujui pengesahannya dalam beberapa bulan mendatang. Tiga RUU ini telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR yang disepakati dalam rapat paripurna ke-19 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021—2022. Adanya RUU DOB, untuk apa?

 

Ada Penambahan Dapil

Menurut penjelasan dari Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda, pembentukan provinsi baru ini akan berdampak pada penambahan daerah pemilihan (dapil), sekaligus penambahan jumlah kursi anggota DPR RI yang akan dipilih dalam Pemilu 2024. Dan ini sesuai dengan amanat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

Sedangkan ketua DPR RI Puan Maharani berpendapat bahwa, “Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur memiliki maksud untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua serta untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi. Juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua” (Katadata, 17/4/2022).

 

Tokoh senior Papua Michael Manufandu, menyetujui adanya tiga RUU DOB tersebut. Menurutnya, untuk mewujudkan percepatan kesejahteraan rakyat Papua. Sebab selama 60 tahun seperti tidak ada kemajuan berarti. Ia melanjutkan bahwa pemekaran Provinsi Papua ini penting supaya kontrolnya jauh lebih mudah.

 

Penolakan DOB

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) ini ternyata tidak berjalan mulus, meskipun ada tokoh Papua yang sepakat. Akan tetapi, ada banyak yang kontra atau menolak dibentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB). Alasan pihak yang kontra ini beragam. Misalnya penolakan datang dari Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara Papua dan Papua Barat, Unas G Tabuni. Dalam wawancara dengan portal berita Papua Jubi,  Tabuni menilai pemerintah pusat semestinya melakukan pembenahan provinsi dan kabupaten/kota yang sudah ada, sebelum  membentuk provinsi baru di Tanah Papua (Katada.co.id, 17/4/2022).

 

Penolakan juga datang dari Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Theo Hesegem. Ia menilai pemekaran provinsi Papua sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih. Sejumlah pelanggaran HAM di Papua sebelumnya pun belum diusut tuntas. (Republika, 13/4/2022).

 

Sungguh sangat disayangkan, meskipun banyak yang menolak, RUU DOB tetap digebut oleh penguasa yang bisa diduga untuk menambah jumlah dapil pemilu 2022. Lagi-lagi langkah yang diambil penguasa ini, semakin membuktikan bahwa penguasa dalam sistem kapitalisme lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Seharusnya penguasa jeli melihat apa yang menjadi persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan bermasyarakat disana. 

 

Masalah Krusial di Papua

Permasalahan utama yang terjadi dibumi cendrawasih, bukan rahasia lagi. Seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia mengetahui bahwa permasalahan yang sering terjadi ialah adanya kekerasan yang dilakukan oleh OPM dan KKB. Sudah terkalu sering kita melihat pemberitaan-pemberitaan media betapa sadisnya OPM ini. Nyawa rakyat ataupun TNI dan Polisi sering berakhir diujung tombak dari OPM yang hanya lagi-lagi dibilang Kelompok Kriminal Bersenjata. Hal ini semakin meresahkan rakyat. Penguasa menyampaikan agar mereka dirangkul. Karena hanya rangkulan itulah, sehingga KKB dan OPM tetap eksis. Penghentian kekerasan OPM itu yang harusnya menjadi prioritas utama, bukan RUU DOB.

 

Jika saja sikap penguasa terhadap OPM seperti sikap penguasa terhadap terduga teroris, langsung tembak ditempat, pasti OPM akan ketar-ketir. Namun sayang, OPM tidak diperlakukan seperti terduga teroris. Padahal mereka real teroris bukan terduga.

 

Selain masalah kekerasan yang dilakukan OPM, yang menjadi persoalan juga adalah faktor kesejahteraan rakyat papua. Rakyat papua banyak yang hidup dibawah standar (miskin). Sehingga pembentukan provinsi baru bukan menjadi solusi, apalagi dalam pengelolaannya masih menggunakan sistem kapitalisme. Memang disana memiliki SDA yang melimpah tetapi SDA yang mereka miliki tidak mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Hal itu disebabkan SDA dikelola dengan menggunakan paradigma kapitalisme. Penguasa bekerja sama dengan korporasi, dan para pekerjanya pun adalah dari luar.

 

Agar rakyat bisa hidup sejahtera, mestinya pemerintah lebih fokus melakukan pembangunan dan pemerataan berbasis rakyat, yakni pembangunan yang memprioritaskan kebutuhan serta kepentingan rakyat. Bukan pembangunan berbasis korporasi. Penguasa membangun infrastruktur yang mewah tetapi tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat sekitar. Hal itu tidak berguna, yang dibutuhkan masyarakat disana adalah ketika segala kebutuhan pokoknya terpenuhi dengan baik, mendapatkan akses, fasilitas, dan layanan publik yang memadai, dan terjaminnya lapangan kerja bagi setiap kepala keluarga.

 

Namun, semua ini semakin menegaskan paradoks rezim demokrasi yang lebih mementingkan penyelamatan dan peningkatan perolehan kursi dibanding fokus pada penyelamatan kedaulatan, nyawa dan penciptaan keamanan serta kesejahteraan rakyat. Bagaimana tidak, pemilu masih lama sudah mau tancap gas memikirkan dapil.

 

Segala yang terjadi saat ini hanya bisa diselesaikan jika negara menjadikan Islam sebagai sistem. Sebab Islam adalah solusi cemerlang dari segala problematika yang dihadapi manusia. Salah satunya penyelesaian OPM. Begitupula dengan masalah kesejahteraan masyarakat.

 

Kesejahteraan itu akan didapatkan rakyat bukan dengan pemekaran wilayah seperti yang digadang-gadangkan para wakil rakyat. Sebab ketika wilayah mekar, maka pemimpin wilayah tersebut akan berusaha memenuhi setiap kebutuhan daerah tersebut. Sedangkan pemimpin pusat akan berlepas diri meskipun tidak sepenuhnya. Bahkan daerah baru tersebut akan menjadi santapan baru bagi korporasi jika memiliki SDA yang melimpah. Pemekaran wilayah sebenarnya tidak menjadi masalah jika visi negara berasaskan Islam.

 

 Islam Sebagai Solusi

Dalam Islam, mengurusi masalah umat adalah prioritas utama pemimpin. Sebab ia sebagai pemegang otoritas negara Islam. Ketika wilayah yang dipimpinnya memiliki SDA berlimpah, maka itu adalah harta milik umum yang wajib dijaga dan dikelola negara. Bukan diserahkan pada perusahaan asing. Jika negara tidak memiliki tenaga ahli, maka negara mendatangkannya dari luar negeri tetapi mereka posisinya hanya sebagai pekerja. Hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhah pokok rakyat. Pengembalian hasil pengelolaan SDA tersebut dalam bentuk  membangun fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya sekolah, rumah sakit, jalan umum, penerangan jalan, taman, jembatan, dan sebagainya.

 

Dalam pemerintahan negara Islam, pemimpin atau khalifahlah sebagai pusat pengaturan. Muawin tafwidh sebagai wakil Khalifah dalam bidang pemerintahan tidak akan berjalan sendiri-sendiri. Meskipun ia diberi kebolehan untuk menentukan pendapat sendiri ketika mengahdapi sebuah masalah yang belum ditetapkan oleh pemimpin. Begitu pula para gubernur atau wali yang memimpin sebuah wilayah. Mereka menjalankan tugasnya harus sesuai syariat Islam atas pengetahuan dan persetujuan penguasa. Mereka bekerja dalam rangka membantu penguasa menangani wilayah yang dipimpinnya.

 

Dalam hal pemerataan pembangunan infrastruktur, penguasa tidak membeda-bedakan dengan daerah lain, meskipun wilayah tersebut jauh dari ibukota negara. Penguasa melalui para wali dan gubernur akan memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Sedangkan dari segi keamanan, penguasa akan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku kejahatan apalagi pemberontak seperti OPM. Sanksi yang diberikan beraneka ragam untuk kasus kejahatan ada yang ditembak mati, denda, yang  disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya. Wallahu'alam bishowab(***)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.