Header Ads


Ironi Infastruktur Jalan di Bumi Penghasil Aspal


Ema Fitriana Madi, S.Pd.  (Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Warga Jalan Banteng, Kelurahan Rahandouna, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara menggalang dana secara swadaya untuk perbaikan jalan yang rusak. Gerakan swadaya tersebut dilakukan lantaran sejumlah titik ruas jalan rusak parah dan seringkali menjadi pemicu terjadinya kecelakaan, hingga memakan korban. Namun, jalur ini tidak kunjung  dilakukan perbaikan oleh pemerintah setempat. Bahkan, menurut penuturan salah satu warga, ia pernah mengalami keguguran lantaran melewati jalanan yang sangat tidak layak tersebut (Sultrakini.com, 2/10/2022).

 

Sungguh ironis memang, jalanan rusak mewarnai daerah penghasil aspal seperti Sulawesi Tenggara ini. Kepala Dinas SDA dan Bina Marga Sultra, Burhanuddin mengatakan, data jalanan rusak sedang/berat di Provinsi Sulawesi Tenggara masih ada 183,78 Km (kendaripos.co.id, 12/09/2022).

 

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kerusakan jalanan telah banyak diatasi, namun tetap saja, jalanan adalah kebutuhan vital masyarakat yang tidak bisa ditunda-tunda. Apatah lagi, jika potensi produksi aspal di daerah tersebut sangat besar. Tercatat, Pulau Buton  Sulawesi Tenggara, menyimpan deposit aspal alam terbesar dunia, yakni mampu  memproduksi aspal sebanyak 58 ribu ton per tahunnya. Sementara, saat ini masih menyimpan deposit aspal alam 662 juta ton. Deposit terbesar di dunia, bahkan merupakan 80 persen cadangan aspal alam dunia (Indonesia.go.id, 15/10/2022).

 

Namun sayang, "Indah kabar dari rupa". Begitulah gambaran tentang keberadaan aspal Pulau Buton. Hal ihwal bahwa Pulau Buton memiliki deposit aspal yang sangat besar untuk pembangunan negeri ini, sudah diajarkan kepada anak-anak SD hingga SMP, dalam pelajaran geografi. Nyatanya, manfaatnya kurang dirasakan. Masih banyak jalanan yang rusak dan butuh perhatian.

 

Tak dipungkiri, banyak jalanan yang diperbaiki karena swadaya masyarakatnya sendiri. Bahkan, tidak jarang jalanan menjadi "lahan" proyek menjelang pemilu. Belum lagi, dengan melimpahnya aspal di negeri sendiri, kemudian mengimpor aspal dari negara. Sungguh kondisi yang tidak wajar. Lantas, mengapa demikian? Ada apa dengan tata kelola industri penambangan Aspal negeri kita?

 

Ironi Daerah Penghasil Aspal dalam Cengkraman Kapitalisme

Di tengah kebutuhan insfrastruktur negeri yang besar, seharusnya kita sudah berdikari terhadap SDA kita sendiri, salah satunya aspal. Apalagi penghasil aspal tertinggi di dunia ada di Indonesia. Adalah Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, membentang dari Teluk Sampolawa ke Teluk Lawele, sepanjang 75 km. Lumpur aspal ini berada di lembah-lembah di bawah lereng perbukitan. Dengan kandungan aspal yang melimpah seperti disebutkan di atas dan dengan kebutuhan aspal nasional sebesar 4 sampai 5 juta ton/tahunnya, seharusnya setiap wilayah di negara kita memiliki jalanan yang layak dan standard. Namun, solusi yang diberikan oleh pemerintah malah membuka keran investasi yang besar bagi korporat untuk mengelola industri aspal Buton.

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menawarkan peluang investasi aspal yang ada di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, saat memberikan pengarahan, sembari membuka Investor Daily Summit 2022. Presiden Jokowi mencanangkan bahwa dia hanya akan memberi waktu dua tahun untuk menghentikan impor aspal. Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengungkap, sudah ada investor yang tertarik menanamkan modalnya di Pulau Buton. Selain investor tanah air, sejumlah investor Eropa tertarik untuk membangun industri aspal di Pulau Buton. (Cnbcindonesia.com, 12/10/2022)

 

Dari sini jelas, sikap presiden tersebut menandakan neoimperialisme di negeri ini semakin gencar. Aspal yang merupakan sumber kekayaan alam milik umum bukannya dikelola oleh negara justru di serahkan kepada pihak swasta. Walhasil, penghasil aspal terbesar di dunia tersebut tetap saja akan menikmati aspal impor dengan harga super mahal. Sungguh, kebijakan yang tidak solutif bagi rakyat. Padahal, aspal di negeri sendiri begitu melimpah, namun begitu sulit dikelola dan berdikari dengan aspalnya sendiri.

 

Inilah ironi infrastruktur jalan di daerah penghasil aspal. Sudah menjadi keniscayaan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, pemilik modal akan selalu mengambil peran besar dalam penguasaan sektor perekonomian termasuk SDA. Meskipun pemerintah berdalih memperjuangkan potensi kekayaan alam tersebut, nyatanya hanya sebuah fatamorgana untuk menutupi kegagalan mereka dalam mensejahterakan masyarakat.

 

Karenanya, untuk mengakhiri ketimpangan yang ditimbulkan oleh kapitalisme, tidak ada jalan, kecuali dengan kembali menerapkan sistem ekonomi Islam. Sebab, pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan syariat Islam sudah jelas akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat.

Allah Swt, berfirman yang artinya, "Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".(TQS an-Nahl [16]: 89).

 

Dalam perspektif Islam, terkait kekayaan alam yang mencakup hasil bumi seperti gas, minyak bumi, dan hasil tambang lainnya merupakan kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara. Tidak ada hak bagi individu maupun pihak swasta baik Asing maupun Aseng untuk mengambil kendali atas  pengelolaan kekayaan alam tersebut. Hal ini merujuk pada Hadist Rasulullah saw. yaitu, "Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api" (H.R. Al Bukhari).

 

Olehnya itu, dalam aturan Islam, segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak sepenuhnya diserahkan kepada negara. Adapaun hasil dari pengelolaan sumber daya alam tersebut baik dari penjualan akan dimasukkan dalam kas APBN (Baitul Mal). Sebagian pendapatan utama digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

 

Pada Masa Khilafah, digambarkan bagaimana perbedaan antara kota-kota di dunia Islam dengan Eropa di era kekhalifahan. London dan Paris yang kini menjadi metropolis dunia, pada masa kejayaan Islam hanyalah kota kumuh dengan jalanan becek yang penuh lumpur ketika hujan. Kondisi itu sungguh berbeda dengan Baghdad dan Cordoba, dua metropolitan dunia yang berkembang sangat pesat di zaman kejayaan Islam.

 

Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang termasyhur 'History of Arab' melukiskan, jalan-jalan di kedua metropolis Islam itu begitu licin berlapiskan aspal. Ia mengungkapkan, seni membuat jalan sungguh telah berkembang pesat di tanah-tanah Islam. Menurutnya, bermil-mil jalan di Kota Cordoba, pusat kekhalifahan Islam di Spanyol, begitu mulus dilapisi dengan aspal.

Tak cuma itu, pada malam hari, jalan-jalan di Cordoba pun telah diterangi dengan lampu. Ia menuliskan, pada malam hari, orang-orang bisa berjalan dengan aman. Sedangkan di London dan Paris, orang yang berjalan di waktu hujan pasti akan terperosok dalam lumpur.

 

Senada, orientalis dan arkeolog terkemuka Barat, Stanley Lane Poole, juga sangat mengagumi kehebatan pembangunan jalan di Cordoba. Ia mengungkapkan,

orang dapat menelusuri jalan-jalan di Cordoba pada malam hari dan selalu ada lampu yang akan memandu perjalanan mereka. Sebuah inovasi dan pencapaian begitu tinggi yang belum terpikirkan peradaban Barat ketika itu. Masyarakat Barat baru mengenal pembangunan jalan berlapis aspal sekitar tujuh abad setelah peradaban Islam di Spanyol menerapkannya.

 

Dr. Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, 'The Miracle of Islam Science', 2nd Edition juga memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, berupa  jalan yang dilakukan di zaman kekhalifahan Islam. Ajram menuturkan, yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M. Yang paling mengagumkan, pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M.

 

Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Pada 1717, dia membangun jalan di Yorkshire, Inggris, sepanjang 180 mil. Ia membangun jalan dengan dilapisi batu dan belum menggunakan aspal.

 

Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Sejarah Barat mencatat, pada tahun itu aspal mulai melapisi jalan Champs-Elysees di Paris, Prancis. Sedangkan, jalan beraspal modern di Amerika baru dibangun pada 1872.

 

Adalah Edward de Smedt, imigran asal Belgia, lulusan Columbia University di New York yang membangun jalan beraspal pertama di Battery Park dan Fifth Avenue, New York City, serta Pennsylvania Avenue. Ajram mengungkapkan, pesatnya pembangunan jalan-jalan beraspal di era kejayaan tak lepas dari penguasaan peradaban Islam terhadap aspal.

 

Sejak abad ke-8 M, peradaban Islam telah mampu mengolah dan mengelola aspal. Menurut Ajram, aspal merupakan turunan dari minyak yang dihasilkan melalui proses kimia bernama distilasi destruktif. Zayn Bilkadi, seorang ahli Kimia dalam tulisannya, 'Bitumen A History' memaparkan, pertama kali aspal dikenal oleh bangsa Sumeria. Peradaban ini menyebutnya sebagai esir. Orang Akkadia mengenal aspal dengan nama iddu. Sedangkan, orang Arab menyebutnya sayali, zift, atau qar. Sedangkan masyarakat Barat mengenalnya dengan nama 'bitumen'.

 

Sejak dulu, aspal menjadi primadona. Aspal pernah digunakan peradaban Babilonia untuk membuat gunung buatan yang dikenal sebagai Menara Babel. Masyarakat Mesir Kuno menggunakan aspal untuk merawat mumi. Peradaban Islam yang mewarisi teknologi pengolahan aspal, sempat menggunakannya untuk menyembuhkan penyakit kulit dan luka-luka. Hingga akhirnya, peradaban Islam mengenalkan aspal untuk melapisi jalan.

 

Orang Babilonia sudah mulai menguasai pengolahan aspal secara kuno. Namun, secara modern pengolahan aspal pertama kali ditemukan para ilmuwan Islam. Beberapa ilmuwan yang mengembangkan teknologi pengolahan aspal adalah 'Ali ibnu al-'Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu menghasilkan minyak dari endapan aspal yang hitam dengan cara memanaskan endapan aspal sampai mendidih di atas ketel. Lalu, untuk mendapatkan cairan minyak, ia memeras endapan aspal itu sampai mengeluarkan minyak.

 

Selain itu, saintis muslim dari Mesir, Al-Mas'udi, juga mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak.

 

Al-Mas'udi menguasai teknologi pengolahan aspal menjadi minyak melalui proses yang mirip dengan teknik pemecahan modern (cracking techniques). Dia menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi.

 

Metode pengolahan minyak dari aspal lainnya yang ditemukan insinyur Muslim adalah teknik distilasi yang disebut taqrir. Teknik ini kembangkan oleh sarjana Muslim bernama Al-Razi. Berbekal pengetahuan itulah, pada abad ke-12 peradaban Islam sudah menguasai proses pembuatan minyak tanah atau naphtha.

 

Menurut Bilkadi, mulai abad ke-12 minyak tanah sudah dijual secara besar-besaran. Di Mesir pun, minyak tanah pada abad itu telah digunakan secara besar-besaran. Dalam salah satu naskah disebutkan, dalam sehari rumah-rumah di Mesir menghabiskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.

 

Demikian jelas, hanya Khilafah yang mampu mengembalikan kemuliaan umat sekaligus meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Sebab, baik pada tataran konsep maupun praktik, Islam telah terbukti mampu menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik, umat yang sejahtera, umat yang mulia. Karena itu, kini saatnya mencampakkan aturan-aturan hidup sekuler kapitalisme, sumber kesengsaraan dan malapetaka dunia. Lalu, kembali pada aturan Islam, sumber kebahagiaan dan kemuliaan hidup bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.