Header Ads


Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Tinggi, Akibat Kapitalisme


Khadijah, S. Si (Pemerhati Sosial)

 

Maraknya pemberitaan tentang kekerasan yang dialami perempuan dan anak saat ini makin membuat hati sedih. Sebagaimana data online yang dirilis Simfoni-PPA per Januari 2022 hingga saat ini tercatat 21.757 jumlah kasus dengan 3.501 korban laki-laki dan 19.901 korban perempuan (kekerasan.kemenppa.go.id, 13/11/22).  Sedangkan menurut data Kementerian PPPA tahun 2021 terdapat 11.952 kasus kekerasan pada anak (kompas.com, 24/4/2022). Data di atas menunjukkan angka kasus kekerasan tak pernah berkurang.    

 

Kasus terbaru yang cukup membuat publik terkejut adalah kasus yang terjadi di Depok, Jawa Barat.Seorang istri atau ibu NI (31 tahun) dianiaya hingga kritis dan anaknya KPC (11 tahun) yang harus meregang nyawa di tangan ayahnya sendiri. Kasus ini kemudian mendapat tanggapan dari Komnas Perempuan sebagaimana dilansir republika (6/11/2022), Rainy Hutabarat mengatakan bahwa kasus tersebut adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem yang dianggap sebagai puncak dari kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Rainy, pembunuhan tersebut bukan tindak kriminal biasa sehingga pelakunya perlu dihukum dengan pemberatan (republika, 6/11/2022).

Kekerasan yang saat ini marak terjadi pada perempuan dan anak sebagai bentuk kekerasan gender juga tidaklah tepat, mengingat korban dengan yang sama gendernya juga banyak. Akar permasalahan kekerasan sebenarnya terletak pada persoalan sistemik yang mesti diselesaikan dengan solusi yang sistemik juga bukan sekedar permasalahan gender.

 

Sejatinya pelaku kekerasan sudah semestinya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Apalagi perbuatan tersebut sampai kepada penghilangan nyawa manusia. Di dalam Islam, nyawa manusia sangatlah berharga daripada dunia seisinya. Sebagaimana hadist Nabi saw, menyebutkan bahwa : “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah bila dibandingkan dengan terbunuhnya seseorang mukmin tanpa hak (HR. Nasai dan Turmudzi).

 

Bila ditelisik lebih mendalam maraknya kekerasaan dalam keluarga sebenarnya adalah cerminan dari rusaknya tatanan pondasi keluarga saat ini. Orang tua dan suami yang seharusnya melindungi semua anggota keluarga berubah menjadi sosok algojo yang mengancam jiwa dan nyawa. Persoalan yang muncul dalam keluarga tak lagi bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, kasih sayang tergerus oleh situasi dan kondisi kapitalisme saat ini. Maka tak heran, ketika muncul permasalahan dalam keluarga maka emosi dan amarah sebagai pelampiasannya.

 

Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini berdampak buruk bagi masyarakat. Tingginya biaya hidup di tengah pendapatan yang tak menentu dan kenaikan BBM yang berefek di semua lini  kehidupan seperti biaya sekolah dan kesehatan yang semakin mahal dan tak terjangkau membuat masyarakat stres.  Stres sosial membuat seseorang tak lagi mengedepankan akal sehat dalam menyelesaikan masalah yang ada padanya, kekerasan sebagai salah satu solusinya. Sungguh sangat menyedihkan. Inilah akar permasalahan sebenarnya dari kekerasan yang makin tak terkendali. Kapitalisme biang keladi persoalan kekerasan.

 

Untuk itu, Islam hadir sebagai suatu sistem kehidupan yang memandang bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan setara dan sama di hadapan Allah swt, zat pencipta alam semesta. Laki-laki diposisikan sebagai pemimpin  atau qawwam bagi keluarga sementara istri sebagai ibu yang mengasuh anak-anaknya. Sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an surah an-Nisa ayat 34 : “Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan karena  Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)“.

 

Sebagai agama sempurna, Islam wajib menjaga status pemimpin dalam rumah tangga tetap berada di tangan suami atau laki-laki dengan memberikan kemudahan dalam bekerja dan mencari nafkah dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Negara Khilafah juga menerapkan aturan Islam di tengah masyarakat secara kaffah atau menyeluruh, suasana senantiasa dalam keridhoan Allah swt. Dengan begitu stres sosial akibat tekanan kapitalisme yang memicu kekerasan dalam keluarga mampu dihilangkan sehingga akan terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Ini akan terwujud jikalau aturan yang diterapkan bersumber dari sang pencipta manusia yaitu Allah swt. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.