Header Ads


Korupsi, Mengapa Sulit Dibasmi?



 Nia Salaf, pegiat literasi


Bertambah lagi, daftar nama pejabat negara yang terlibat tindak korupsi. Seperti diketahui, baru-baru ini  salah satu Menteri  kabinet Indonesia Maju, mundur dari jabatan  dikarenakan sedang menghadapi proses hukum atas dugaan korupsi di lingkup pekerjaannya. Mirisnya, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi. Belum lama ini mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)  juga telah didakwa merugikan keuangan negara lebih dari Rp 8 triliun terkait kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G. (liputan6.com, 08/10/2023)


Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia harus diakui bukan lagi menjadi masalah personal melainkan sistemik. Andai semua tindak korupsi terungkap dan diadili, pelakunya akan sangat banyak. Meski diopinikan bahwa pelakunya adalah oknum, tetapi para oknum tersebut jika dikumpulkan bisa jadi akan terkumpul lebih dari satu stadion. Sebab saat ini, korupsi tidak hanya dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah namun juga  dilakukan oleh tak sedikit dari elemen masyarakat  dalam kehidupan sehari-hari. 


Sayangnya, keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diharapkan bisa menjadi penolong pemberantasan korupsi, ternyata jauh dari harapan. Malah sekarang, lembaga ini dilemahkan, kewenangannya. Bahkan dibatasi geraknya. Parahnya lagi, bahkan kini kredibilitas pimpinannya turut dipertanyakan. Hal ini membuat jalan pemberantasan korupsi kian suram dan gelap.


Terlebih, KPK tidak bisa bekerja sendiri dalam memberantas korupsi di negara kita ini. Rakyat seharusnya juga mempunyai peran dalam memberantas korupsi. Masalahnya, rakyat mulai  bersikap acuh bahkan muak dengan perkara korupsi yang seolah tiada henti-hentinya terjadi di negeri ini.


Itulah antara lain kenyataan yang membuat korupsi sangat sulit  diberantas. 

Maklum, banyaknya kasus korupsi di negeri ini memang sudah sangat meresahkan. Publik mulai sukar untuk percaya dengan kebijakan penguasa dalam membasmi korupsi. Andai serius dan sungguh-sungguh serta tidak tebang pilih, perilaku korup dan korupsi bisa diminimalkan.


Tetapi tak segampang itu kenyataannya. Bagaimana bisa membasmi korupsi secara tuntas sementara ongkos politik demikian tingginya? Sudah sulit menemukan pejabat terpilih yang tidak kongkalikong dengan pengusaha alias oligarki kapitalis. Demokrasi memang meniscayakan hal tersebut mengingat besarnya biaya politik yang dibutuhkan yang sulit terpenuhi bila ditanggung sendiri.


Jikan demokrasi dalam naungan ideologi kapitalisme hanya melahirkan deretan koruptor yang menjarah negeri, mengapa tak berpaling pada Islam?


Renungkan firman Allah Swt. berikut,


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ



Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar)." (QS An Nisa:29)


Dari penjelasan tafsir ayat ini menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah Swt. terlarang memakan, mengambil harta milik orang lain dengan cara yang salah, termasuk korupsi dalam hal ini. 


Dalam Islam, mendorong manusia untuk menjadi   manusia yang bertakwa sehingga dengan ketakwaannya dapat mencegah terjadinya perbuatan yang batil.


Kejujuran dan sikap yang amanah dalam mengemban jabatan merupakan bagian dari ketakwaan itu sendiri. Ada pun negara, dalam Islam bertugas menjamin dan memastikan setiap individu rakyatnya tidak melakukan kemaksiatan, apa pun bentuknya. Hal ini dilakukan dengan pemberian  nasehat maupun sanksi yang tegas dan mengikat tanpa pandang bulu.



Negara juga ditugaskan Islam untuk  mengaudit harta kekayaan pejabat dan para pegawai sebelum  dan setelah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan dari mana asalnya selisih harta tersebut.


Jika tidak mampu membuktikan, harta tersebut akan disita negara. Adapun pelaku akan mendapatkan hukuman, baik berupa pemberhentian dari jabatan maupun sanksi yang membuat jera. Sanksi korupsi terkategori takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh Khalifah atau hakim.  Berupa penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati. Selain itu, pelaku korupsi akan disiarkan kepada publik melalui media massa sehingga menjadi sanksi sosial dan sekaligus mencegah orang lain berbuat serupa.


Mari renungkan, sejatinya hidup di dunia ini bukanlah bertujuan hanya untuk mengumpulkan materi atau kekayaan, tetapi semata-mata untuk meraih ridha Allah Swt. Tentu wasilahnya dengan  mengambil Islam secara kafah sebagaimana yang diperintahkan oleh-Nya. Wallahua'lam.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.