Derita Gaza Akan Berakhir dengan Solusi Hakiki
Oleh: Ummu Syathir*)
IndonesiaNeo, OPINI - Blokade Zionis terhadap Gaza telah berlangsung lama dan menyebabkan masyarakatnya hidup dalam kondisi mengerikan. Serangan bom yang brutal menelan puluhan ribu nyawa penduduk Gaza. Meski beberapa kali perundingan gencatan senjata dilakukan, upaya tersebut selalu gagal. Siapapun dapat melihat bahwa tindakan Zionis terhadap Gaza merupakan bentuk pembersihan etnis terhadap penduduk asli Jalur Gaza. Sebagaimana diberitakan oleh Republika Online (6 September 2025):
“Pasukan Israel telah melancarkan serangan di pinggiran kota bagian utara selama berminggu-minggu, setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer merebut kota itu.”
Serangan tersebut menyasar gedung-gedung pengungsian, menyebabkan lebih dari 50 gedung hancur, puluhan orang terluka, dan puluhan tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Persoalan pendudukan Zionis di Palestina merupakan masalah historis yang panjang; bahkan pembersihan terhadap warga Palestina pernah didorong oleh seruan beberapa rabi dan sejumlah pejabat pemerintahan Zionis.
Pendudukan Zionis di Palestina: Dukungan Negara Adidaya dan Pengkhianatan Negara Arab
Secara historis, orang Yahudi sering mengalami pengusiran dari berbagai tempat akibat konflik sosial-politik pada masa lampau. Dengan dukungan negara adidaya saat itu, Inggris, mereka berhasil memasuki Palestina karena meyakini wilayah tersebut sebagai pusat kejayaan Bani Israel. Hingga kini, pendudukan Zionis di Palestina tetap mendapat dukungan dari negara adidaya, yakni Amerika Serikat. Israel dipandang oleh AS sebagai instrumen untuk mengontrol negara-negara Muslim agar tetap berada pada jalur yang diinginkan — menanamkan nilai-nilai sekuler-kapitalistik, mencegah kebangkitan Islam, serta mengamankan sumber daya alam di Timur Tengah.
Israel, yang kerap disebut-sebut sebagai satu-satunya negara “demokratis” di kawasan, menjadi titik kepentingan utama AS di Timur Tengah. Setiap kali terjadi konflik, AS sering hadir seolah menengahi, tetapi hasilnya sering menguntungkan pihak penjajah. Perjanjian seperti Oslo dan Camp David berujung pada pencaplokan sebagian tanah Palestina dan penyerahan wilayah strategis.
Di sisi lain, negeri-negeri Muslim, khususnya negara-negara Arab yang bertetangga dengan Palestina, terkesan abai terhadap solusi hakiki untuk pembebasan Palestina; sebagian bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Organisasi internasional yang menghimpun negara-negara Muslim, yaitu Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sejak didirikan pada 25 September 1969 (KTT Rabat, Maroko) belum mampu menghadirkan solusi hakiki untuk Palestina. Sejak awal pembentukannya hingga kini, OKI dinilai belum mampu menghalau tindakan Israel dan sekutunya yang mencaplok tanah-tanah Palestina dan menewaskan warga sipil.
Kegagalan itu disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya ego-nasionalisme masing-masing negara, pemimpin yang tidak kapabel atau tidak independen (menjadi boneka kekuatan besar), serta ketiadaan perubahan visi-misi fundamental di dunia Islam. Tanpa perubahan paradigmatik—membangkitkan kembali kesadaran kolektif umat dan menanggalkan ikatan nasionalisme sempit—sulit tercipta sinergi penyatuan kekuatan dunia Islam.
Bantuan yang diberikan negeri-negeri Muslim kepada warga Palestina, seperti makanan, obat-obatan, dan air, sangat diperlukan secara kemanusiaan, tetapi tidak menyelesaikan akar persoalan: ketakutan dan ancaman akibat serangan brutal Israel. Banyak penguasa Arab dan Muslim tampak hanya ingin menunjukkan bahwa mereka “tidak tinggal diam,” terutama karena reaksi global terhadap pembantaian di Gaza semakin kuat. Namun sikap simbolis tanpa tindakan nyata tidak cukup.
Solusi yang Dapat Menyelesaikan Masalah Palestina dan Umat Islam
Menurut pandangan penulis, persoalan Palestina adalah penjajahan Israel atas tanah Palestina, dan solusi hakiki ialah mengusir penjajah. Penjajahan itu telah berlangsung lebih dari tujuh puluh tujuh tahun; selama itu bangsa Palestina terus menderita, mengalami penistaan, pengusiran, pemerkosaan, dan pembantaian yang keji. Dalam perspektif syariah, ada metode untuk menghadapi invasi musuh, yakni jihad. Metode untuk mengatasi penjajahan adalah dengan mengusir penjajah melalui perjuangan, termasuk jihad.
Untuk persoalan Palestina, penulis menilai bahwa metode syari untuk menghilangkan invasi dan penjajahan Israel adalah jihad—yakni mengerahkan tentara dari negeri-negeri Muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah. Di sinilah relevansi dan pentingnya negara Islam (Khilafah) yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Dengan semangat jihad fi sabilillah, negeri-negeri Muslim dapat mengerahkan pasukan untuk mengusir entitas Zionis dari tanah Palestina. Persatuan tentara-tentara kaum Muslim diperkirakan akan membuat gentar entitas Zionis yang jumlah penduduknya relatif kecil dibanding jumlah umat Muslim di dunia.
Tanpa Khilafah, umat Islam mudah tercerai-berai di bawah negara-bangsa (nation-state). Hal ini membuat sinergi untuk mengusir Israel menjadi sulit. Para penguasa negeri Muslim kini cenderung enggan mengerahkan tentara; mereka umumnya hanya berani mengecam dan mengirim bantuan kemanusiaan.
Sejarah menunjukkan tokoh seperti Khalifah Abdul Hamid II menolak permintaan tokoh Zionis untuk mendapatkan tanah Palestina. Theodore Herzl—tokoh Zionis yang menggagas konsep negara Yahudi—pernah mengunjungi Khalifah Abdul Hamid pada Juni 1896 untuk meminta tanah Palestina. Abdul Hamid menolak keras, menyatakan bahwa Palestina adalah hak umat Islam dan tidak akan diserahkan. Sikap tegas semacam itu, menurut penulis, tidak tampak di kalangan penguasa dunia Islam masa kini. Sebagai akibatnya, Israel menjadi kurang gentar menghadapi Dunia Islam meski jumlah umat Muslim sangat besar.
Rasulullah saw. memperingatkan kondisi umat yang tercerai-berai melalui hadits: “Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan…” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud dari Tsauban ra.). Hadits ini menyinggung fenomena wahn — cinta dunia dan benci mati — yang menurut penulis menjangkiti beberapa pemimpin dunia Islam sehingga mereka enggan mengambil langkah nyata.
Penulis menegaskan bahwa kepemimpinan yang tidak berasaskan akidah Islam membuka banyak mudarat dan memudahkan penjajahan. Berbeda dengan sistem Khilafah yang berlandaskan ideologi Islam—yang menyatukan umat dan seluruh potensi di bawah satu kepemimpinan—pemimpin Khilafah akan mengurus dan menjaga umat. Ketika kezaliman menimpa, Khilafah, rakyat, dan tentaranya diharapkan menjadi pembela utama. Oleh karena itu, selama entitas Zionis masih berada di tanah Palestina, penderitaan kaum Muslim akan terus berlanjut; menurut penulis, tidak ada solusi final selain pengerahan pasukan dari negeri-negeri Muslim hingga Zionis meninggalkan tanah wakaf kaum Muslim. Dengan kata lain, solusi yang diusulkan ialah Khilafah dan jihad.[]
*) Pegiat Literasi
Post a Comment