Header Ads


Benarkah Kapitalisme Bukan Sistem? Berangkat dari Perdebatan Podcast Debat Ferry Irwandi


IndonesiaNeo, EKONOMI - Dalam podcast Debat di Chanel Ferry Irwandi: Debat, Kapitalsme Modus Produksi atau Sistem Ekonomi? pada tanggal 18 Agustus 2025, muncul sebuah pertanyaan provokatif: “Apakah kapitalisme sebenarnya bukanlah sebuah sistem?”. Ferry Irwandi, selaku host, berpendapat bahwa kapitalisme seharusnya tidak dipandang sebagai sistem ekonomi, melainkan sebagai sebuah metode atau cara produksi. Di sisi lain, lawan debatnya, Vier Agi Leventa, menegaskan bahwa kapitalisme jelas merupakan sebuah sistem ekonomi yang terorganisir. Perbedaan pendapat ini tidak hanya berkaitan dengan definisi, tetapi juga mencerminkan perspektif yang berbeda mengenai inti dari kapitalisme. Berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting dalam perdebatan mereka, beserta analisis terhadap kevalidan argumen masing-masing, serta pandangan penulis tentang posisi mana yang lebih meyakinkan.


Argumen Ferry Irwandi: Kapitalisme Bukan Sistem

Ferry Irwandi berpendapat bahwa kapitalisme tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai sistem ekonomi secara formal. Dia menjelaskan bahwa kapitalisme hanya merupakan hubungan produksi antara pemilik modal dan pekerja dengan tujuan akumulasi kapital, sehingga tidak setara dengan “sistem ekonomi” resmi seperti ekonomi Pancasila atau sosialisme yang disebutkan dalam konstitusi. Ferry menegaskan, “kapitalisme bukanlah sistem ekonomi dalam arti legal-formal, melainkan sebuah metode produksi”. Karena tidak ada dasar hukum atau rancangan konstitusi yang mengakui kapitalisme, ia beranggapan bahwa menyebut kapitalisme sebagai sistem ekonomi adalah sebuah kesalahan kategoris.

Konsistensi pemikiran Ferry terlihat jelas ketika ia mengkritik penggunaan istilah “sistem ekonomi kapitalistik” dalam sebuah kasus hukum di Indonesia. Menurutnya, istilah tersebut keliru karena kapitalisme bukanlah suatu kategori yang diatur dalam UUD 1945 atau peraturan yang berlaku di tingkat nasional. Ia berpendapat bahwa menghukum seseorang berdasarkan “kapitalisme” adalah tidak logis, layaknya menciptakan hukuman untuk sebuah ide atau paham. Selain itu, Ferry menjelaskan bahwa yang seharusnya disebut sistem ekonomi adalah mekanisme distribusi yang resmi (seperti sistem pasar bebas versus ekonomi terencana), sementara kapitalisme hanya berkaitan dengan aspek produksi. Ia memberikan contoh Tiongkok: meskipun secara ideologi negara tersebut sosialis, hubungan produksi di pabrik-pabriknya sangat kapitalistik. Ini menunjukkan bahwa kapitalisme dapat beroperasi dalam berbagai konteks sistem politik, "menyatu" dengan sistem lain tanpa menjadi sistem yang terpisah. Dalam pandangan Ferry, fleksibilitas ini menggambarkan kapitalisme sebagai fenomena universal dalam cara orang berproduksi, bukan sekadar sebuah sistem tunggal yang terstruktur.


Argumen Vier Agi Leventa: Kapitalisme Adalah Sistem

Vier Agi Leventa menanggapi argumen Ferry dengan menegaskan bahwa kapitalisme seharusnya dianggap sebagai suatu sistem. Ia menjelaskan bahwa sistem ekonomi adalah mekanisme utama yang mengatur proses produksi, distribusi, dan konsumsi dalam masyarakat. Dari segi pengaruh dan luasnya, kapitalisme jelas memenuhi kriteria tersebut; ia mengatur cara barang diproduksi, distribusi barang dan jasa melalui pasar, serta pola konsumsi masyarakat. Ketidakhadiran dasar hukum yang formal tidak mengurangi sifat teraturnya kapitalisme. Sebenarnya, kapitalisme beroperasi di luar batas-batas kerangka hukum formal negara. Sebagai contoh, di Tiongkok, meskipun konstitusinya bersifat sosialis, praktik ekonomi kapitalis tetap berlangsung; ini menunjukkan bahwa logika kapitalisme tetap ada dan mengatur aktivitas ekonomi walaupun tidak diakui secara resmi. Hal ini mengindikasikan bahwa kapitalisme memiliki tatanan inherent layaknya sistem hidup yang dapat beradaptasi di berbagai tempat. Ia bahkan menggambarkan kapitalisme sebagai benalu yang dapat tumbuh subur pada pohon mana pun selama terdapat kondisi yang mendukung. Kemampuan untuk melintasi berbagai konteks inilah yang menjadi ciri dari sistem yang kuat, bukan alasan untuk menyangkal keberadaannya.

Menurut Vier, kapitalisme memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip ideologis yang khas dan tidak bersifat netral secara ideologi. Contohnya, kapitalisme mengasumsikan adanya kelangkaan relatif terhadap sumber daya dan menekankan kebebasan individu dalam hal kepemilikan serta mekanisme harga pasar. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme memberikan jawaban spesifik terhadap pertanyaan “siapa mendapat apa, bagaimana, dan untuk apa” – yang merupakan inti dari fungsi sistem nilai ekonomi. Banyak intelektual juga sependapat dengan pandangan ini, yang menyatakan bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem sosial-ekonomi global yang memiliki nilai-nilai dasar sekuler dan materialistis. Sebagai ilustrasi, sosiolog Immanuel Wallerstein menyebut kapitalisme modern sebagai sistem dunia yang menghubungkan berbagai negara dalam jaringan produksi dan pasar yang seragam. Oleh karena itu, menurut Vier, mengatakan bahwa kapitalisme bukanlah sebuah sistem justru mengecilkan fakta bahwa kapitalisme telah menjadi tatanan dominan yang mengontrol perekonomian di hampir seluruh belahan dunia.


Analisis dan Opini: Menimbang Mana yang Lebih Kuat

Secara konseptual, argumen yang diajukan oleh Ferry dan Vier mengandalkan perspektif yang berbeda mengenai istilah sistem. Salah satu keunggulan argumen Ferry adalah keteguhannya pada definisi formal. Pendekatannya sejalan dengan pandangan positivistik yang dianut Hans Kelsen dalam bidang hukum, di mana sesuatu dapat diakui sebagai sistem jika terdapat aturan tertulis yang mendasarinya. Ferry sangat berhati-hati agar istilah “sistem ekonomi” tidak disalahgunakan di luar konteks hukum formal. Sikap ini tentu memiliki manfaat untuk menghindari kebingungan hukum (misalnya, ia benar bahwa tak ada pasal dalam konstitusi kita yang secara eksplisit menyebut “kapitalisme”, sehingga istilah tersebut tidak memiliki status hukum resmi). Namun, kelemahan mendasar dari argumen Ferry adalah bahwa ia terlalu sempit dan abstrak. Fakta menunjukkan bahwa kapitalisme berfungsi sebagai sistem meskipun tanpa deklarasi formal. Menolak kapitalisme sebagai sistem hanya karena tidak adanya “label” hukum sama saja dengan mengabaikan adanya aturan yang terbentuk secara sosial. Dalam konteks ini, pandangan Ferry terlihat kaku dan kurang responsif terhadap kenyataan empiris — mirip kritik Jürgen Habermas terhadap legalisme yang murni: kehidupan masyarakat tidak bisa dipersempit hanya pada teks hukum.

Sebaliknya, argumen Vier lebih konsisten dengan pemahaman umum dan bukti empiris. Menyebut kapitalisme sebagai sistem ekonomi merupakan hal yang umum baik dalam literatur akademik maupun dalam percakapan sehari-hari. Pandangan ini didukung oleh berbagai studi dan pemikiran. Max Weber, misalnya, melukiskan kapitalisme modern sebagai "kosmos" besar yang menjebak individu sejak lahir – sebuah metafora kuat yang menunjukkan bahwa kapitalisme adalah lingkungan yang mengelilingi hidup kita. Sejarawan ekonomi Karl Polanyi juga menjelaskan bagaimana munculnya ekonomi pasar kapitalis telah mengubah masyarakat tradisional menjadi market society yang diatur oleh logika pasar. Dengan kata lain, terdapat banyak bukti historis dan sosiologis yang mendukung pendapat bahwa kapitalisme adalah sistem yang luas dan terinstitusionalisasi.

Menurut penulis, posisi Vier Agi Leventa lebih kuat dalam perdebatan ini. Meskipun argumen Ferry yang bersifat teknis-formal berguna untuk memperjelas istilah, ia kurang mampu mencerminkan fenomena yang sebenarnya. Sebenarnya, kapitalisme telah menjadi sistem sosial-ekonomi global yang dilengkapi dengan institusi, nilai, dan mekanisme yang terstruktur, meskipun tidak memiliki "manifesto" resmi. Penting untuk mengakui hal ini agar kita dapat mengkritik atau memperbaiki kapitalisme dengan benar. Di sisi lain, jika kita menganggap kapitalisme hanya sebagai metode produksi tanpa mempertimbangkan dimensi sistemiknya, kita berisiko tidak memahami dampak luas yang dimilikinya terhadap kesenjangan sosial, pola konsumsi, dan kebijakan publik yang ada di sekitar kita.


Penutup

Diskusi mengenai pertanyaan “apakah kapitalisme bukanlah sebuah sistem?” mengajarkan kita bahwa konteks definisi sangat krusial. Dari sudut pandang hukum formal, kapitalisme mungkin tidak disebut sebagai “sistem” dalam konstitusi manapun. Namun, secara praktis, kapitalisme beroperasi seperti sebuah sistem yang mengatur perilaku ekonomi di seluruh dunia. Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan yang ada dan pandangan banyak pemikir. Dengan menganggap kapitalisme sebagai sistem sosial-ekonomi, kita dapat lebih jelas dalam menilai keberadaannya, serta menyusun alternatif atau reformasi yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.[]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.