Header Ads


Rumput JIS Bukan Rumput yang Bergoyang


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)


Rencana renovasi Jakarta Internasional Stadium (JIS) yang dianggap tidak sesuai standar FIFA, memunculkan polemik, beritanya kian berkibar di beranda mesin pencarian, Google. Muhammad Said Didu, Mantan Sekretaris BUMN,  menyinggung sirkuit Mandalika Lombok berakibat kerugian negara hingga miliyaran rupiah yang berasal dari penyelenggaraan event World Superbike (WSBK). 

Dan kali ini Erick Thohir punya keyakinan FIFA akan langsung mencoret Jakarta International Stadium (JIS) dengan kondisi saat ini. Sepertinya  pertandingan untuk Piala Dunia U-17 2023 ini sangat penting bagi pemerintah, dan mengalahkan sekian banyak kepentingan rakyat yang lama terabaikan. Kesejahteraan rakyat seolah tak sebanding dengan pujian dunia jika sukses menggelar acara bergengsi di JIS. Sepak Bola kelas dunia, tentu jika terselip di dalamnya nama Indonesia sebagai negara penyelenggara menjadikan catatan sejarah dunia yang tak terlupakan. Meski sisi sebaliknya , menampakkan wajah bopeng kesejahteraan dan kemiskinan ekstrem rakyatnya. 

Juru Bicara Anies Baswedan, Surya Tjandra menanggapi pernyataan Erick Thohir, bahwa menurutnya ada sejumlah keanehan dalam inspeksi yang dilakukan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. 

Dalam inspeksi tersebut kedua menteri Presiden Joko Widodo itu mendadak mendatangkan kontraktor untuk menilai rumput JIS. Ia menilai hal ini janggal karena kontraktor tersebut memiliki kepentingan bisnis. Yang berhak  menilai kualitas rumput JIS adalah FIFA. Selain itu, ia menyoroti soal kontraktor yang dibawa padahal evaluasi dan tender proyek rumput saja belum selesai.

“Lebih parah lagi, baru sekali berkunjung tiba-tiba sudah keluar nilai proyek Rp6 milyar. Ini mau perbaiki JIS atau mau cari proyek rumput?” ucapnya. Ia juga mengaku mendapat kabar PT Jakarta Propertindo (Jakpro) juga tidak diajak untuk melakukan inspeksi, justru kunjungan langsung diambil alih pemerintah pusat yang kemudian langsung menggandeng PT Karya Rama Prima (fajar.co.id, 6/7/2023).

Pengamat sepak bola Tommy Welly pun menilai polemik tentang kualitas Jakarta Internasional Stadium (JIS) ramai menjadi perbincangan publik, apalagi kini sudah melebar hingga ke masalah politik ketimbang ngomong soal penilaian FIFA. 

Kritikan pun muncul dari Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto , menurutnya  Erick Thohir tak semestinya sibuk mengurusi Jakarta International Stadium (JIS). Meski merangkap status sebagai Ketua Umum PSSI, ia menilai hal itu bukan pekerjaan utama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. “Pak Erick Thohir, ketimbang intervensi renovasi Jakarta International Stadium yang bukan tupoksi utama Pak Menteri, lebih bagus fokus menata harga LPG 3 kilogram,” kata Mulyanto dikutip dari Instagramnya @pakmul63, Kamis (Fajar.co.id, 6/7/2023).


Pencitraan Lebih Penting dari Kesejahteraan Rakyat

Kita tak sedang berbicara rumput yang bergoyang sebagaimana alunan syair pujangga, namun ini tentang sebuah negara yang seharusnya berfungsi sebagai pengurus rakyat, bukan sebagian, bukan bagi penggemar sepak bola, lembaga dunia persebakbolaan atau lainnya. Kita mesti sadar fakta ini berulang terjadi.

Tak sekali dua pemerintah kita mempertontonkan arogansinya, lebih memilih pencitraan di mata dunia daripada mendapatkan kasih sayang dari rakyatnya karena telah mengurusi rakyat sepenuhnya. Sikap yang demikian, tak lain dan tak bukan karena ada kepentingan bisnis di dalamnya. Ada kemanfaatan yang lebih besar akan diperoleh ketika berhasil “memalingkan” pandangan dunia kepada bangsa ini. Sehingga para investor tak lagi berat menanamkan modalnya di negeri ini. Akhirnya semua kebijakan bermuara pada memudahkan urusan para kapitalis. 

Kejam? Wajar, inilah jika kita menggunakan sistem kapitalisme neoliberalisme. Sistem perekonomian yang mengedepankan kebebasan ekonomi. Urusan sejahtera rakyat hanya sebatas perhitungan untung rugi. Bahkan rakyat yang papa benar-benar sangat bergantung pada subsidi dianggap beban APBN negara. Jika pos-pos pendapatan negara di dapat hanya dari pajak, utang luar negeri dan beberapa pemasukan dari sektor non migas, seperti sektor pariwisa jelas berat bagi negara. 

Sebab sumber-sumber pendapatan di atas sifatnya fluktuatif bahkan keji. Faktanya ada sebagian rakyat yang benar-benar tak mampu bayar pajak tapi tetap diwajibkan. Di sisi lain kebutuhan pokok yang harusnya diterima sebagai bentuk kompensasi, tak diterima secara maksimal. Pemimpin yang mati hati ini menjadi keniscayaan lahir dalam sistem politik demokrasi. 

Sejatinya, demokrasi bukan sekadar cara untuk memilih pemimpin, namun sekaligus sebuah sistem yang memaksa kita mengakui manusia sebagai pembuat aturan. Sebagai Muslim, tentu ini tak boleh diambil, hukumnya jelas haram. Sebab dalam akidah seorang Muslim pembuat hukum hanyalah Allah SWT. Dalam surat al-An'am ayat 57 ditegaskan: In al-hukmu illâ lilLâh. Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah SWT. Dialah Yang berhak menetapkan halal dan haram. 


Islam Mewajibkan Pemimpin Fokus Urusi Rakyat

Rasulullah bersabda,”Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). 

Hadis ini bukan permainan, sebab banyak dalil lain dari Al-Qur’an dan hadis yang mengatakan bahwa setiap amal akan dimintai pertanggungjawaban. Apalagi amal sebagai pemimpin yang memang di tangannyalah ditentukan kesejahteraan umat. Jika sebuah even olahraga yang sifatnya mubah, hingga bisa mengalahkan pengurusan urusan rakyat yang sudah sampai batas hidup dan mati, apakah ini bukan sebuah kezaliman? 

Terlebih jika dana yang kelak digunakan renovasi berasal dari dana APBN, jelas semakin menunjukkan kesewenang-wenangan. Pemborosan yang sangat dan itu dekat dengan dosa. Maka, semestinya kita sebagai kaum Muslim menyadari kelemahan sistem hari ini yang tak mungkin mewujudkan kesejahteraan. Yang ada hanya jargon kosong. Berganti orang yang memimpin, harapan satu hilang beralih kepada harapan yang lain, nyatanya tak ada perubahan apapun. Sebab, yang diganti bukan sistemnya. 

Allah SWT telah memberikan karunia kepada manusia karunia luar biasa, tak sekadar akal, namun juga seperangkat syariat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pun ketika pemenuhan kebutuhan itu butuh institusi negara, yaitu khilafah. Masih adakah pilihan lainnya? Allah SWT berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” ( TQS al-Maidah:50). Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.