Header Ads


Menormalkan Kekejaman Zionis Israel?

La Ode Manarfa Nafsahu, S.Ars. *)


Pendahuluan

Pada kamis (29/3) Tentara Zionis Israel (Yahudi) berulah lagi. Mereka dengan sengaja mengeluarkan tembakan peluru beruntun, saat sejumlah umat Islam Palestina di Gaza, sedang mengambil bantuan logistik pangan (makanan). Tak tanggung-tanggung, dari peristiwa penembakan yang terjadi, jumlah korban yang berjatuhan setidaknya 100 orang dan dikabarkan tewas di tempat (www.cnnindonesia.com, 02/03/2024).

Atas peristiwa tersebut, muncul berbagai kecaman terhadap Israel, termasuk dari Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri. Kecaman tersebut, tetap tidak mempengaruhi apapun terhadap kebijakan Israel. Bahkan Israel, tetap memperoleh sejumlah jalinan diplomasi dengan negara-negara mayoritas muslim.

Kondisi ini memberikan kesan bahwa kekejaman yang dilakukan Israel telah dianggap normal di sejumlah negara muslim. Karena dianggap, Israel berbuat demi menstabilkan perpanjangan agenda nasional negaranya. Tanpa khawatir mendapatkan kecaman dari negara-negara muslim yang menjalin hubungan normal dengannya. Dan seharusnya, negara-negara muslim tidak sepatutnya menjalin hubungan normal dengan Israel, atas penjajahan dan penumpasan nyawa umat Islam di Palestina Gaza.


Negeri-Negeri Muslim Yang Menjalin Hubungan dengan Zionis Israel

Negeri Muslim yang memiliki keterikatan diplomasi dengan Negara Israel (Yahudi) meliputi Mesir, dengan perjanjian damai Camp David 1978 (www.tirto.id/perjanjian-camp-david, www.id.wikipedia.org/wiki/Camp_David), dan Yordania, dengan perjanjian Wadi Araba 1994 (www.id.wikipedia.org).

Turki juga telah lama menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 1949, tak lama setelah berdirinya Negara Yahudi tersebut. Meskipun sebelumnya hubungan ini sempat terhenti, pada tahun 2022, kedua negara tersebut kembali menormalisasikan hubungan diplomatiknya (www.kompas.id, 03/2022).

Selain itu, terdapat Unit Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, Maroko, Bosnia-Herzegovina, dan Kosova yang masing-masing mewakili negara Muslim yang menormalisasikan hubungan dengan Negara Israel (www.international.sindonews.com, 22/09/2023).

Kendati demikian, belakangan ini Negara Saudi selaku Negeri Muslim menunjukkan ketertarikan dalam berdiplomasi dengan Negara Israel. Menurut apa yang disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Anthony Blinken, saat bertemu dengan Putra Mahkota Saudi, Muhammed Bin Salman. Meskipun ada ketertarikan, hal itu tidak berarti tidak ada pengecualian, yang terkait dengan masalah di Palestina (www.cnbcindonesia.com, 07/02/2024).

Upaya normalisasi yang dilakukan oleh negara-negara Muslim yang telah disebutkan sebelumnya dengan Negara Israel bukanlah semata-mata terkait dengan masalah Palestina, terutama terkait umat Islam. Upaya tersebut dilakukan demi memperkuat kepentingan nasional negara-negara Muslim terhadap pengaruh ekonomi dan politik dari Negara Israel. Meskipun sebagian di antaranya sempat mengalami tegangan akibat konflik antara Palestina dan Israel.

Namun, apakah sikap tersebut berarti menormalisasi kekejaman Negara Israel terhadap sejumlah korban dari warga Palestina (umat Islam) yang terus berjatuhan sejak berdirinya negara tersebut pada tahun 1948? Saat ini, serangan dari Tentara Zionis Israel masih terjadi di Gaza.


Akar Permasalahan

Runtuhnya Pemerintahan Khilafah (Turki Utsmaniyah) pada tanggal 3 Maret 1924 membuka jalan bagi Gerakan Zionis Yahudi tanpa halangan untuk masuk ke tanah Palestina. Gerakan ini mendapat dukungan dari Inggris sejak deklarasi Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang kemudian mendorong imigrasi Yahudi ke tanah Palestina untuk mendirikan Negara Yahudi, yakni Israel.

Pada tanggal 14 Mei 1948, David Ben-Gurion menyatakan kemerdekaan Negara Israel. Sehari setelahnya, lima negara Arab menyerang Israel. Pada tanggal 11 Mei 1949, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 273 yang mengakui Israel sebagai negara anggota PBB. Resolusi ini disetujui dengan 37 suara mendukung, 13 suara menentang, dan 10 abstain.

Meskipun mendapat perlawanan dari lima negara Arab, antara lain Yordania, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Irak, hal tersebut tidak menghentikan pembentukan Negara Israel. Pada akhirnya, Mesir, Yordania, dan beberapa negara Arab lainnya mengakui kemerdekaan Israel dan menjalin hubungan diplomatik.

Semua tindakan ini tidak semata-mata karena kasus konflik yang menimpa umat Islam di Palestina (Gaza), melainkan untuk menjaga stabilitas negara mereka. Tindakan ini dilakukan atas pengaruh dan dukungan dari negara-negara besar serta organisasi besar yang mendukung pendirian Negara Israel.

Dengan demikian, kekejaman yang dilakukan oleh Israel dalam mencaplok hak kaum Muslimin di Palestina mulai mendapatkan normalisasi. Tindakan tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya kebijakan nasional Israel dalam menstabilkan situasi negaranya, bukan karena agama Islam, syariat Islam, atau darah kaum Muslimin yang ditumpahkan.


Solusi

Berbagai upaya telah dilakukan sejak awal berdirinya negara Israel untuk mencegah, menyudutkan, bahkan menghilangkan eksistensinya di tanah Palestina. Namun, dari sekian banyak upaya yang telah ditempuh, mulai dari kecaman, pembentukan Liga Negara-Negara Mayoritas Muslim (OKI, Liga Arab, Dewan Kerja Negara-Negara Teluk (GCC)), hingga meja pengadilan Internasional (PBB), belum berhasil menjatuhkan atau menyudutkan tindakan Israel. Sebaliknya, upaya tersebut justru semakin mempertegas keberadaan dan kekejamannya terhadap kaum Muslimin Palestina.

Meskipun demikian, penyelesaian atas kondisi yang menimpa umat Islam di Palestina dapat dicapai dengan kembali kepada penerapan institusi negara yang benar-benar melindungi martabat kaum Muslimin di Palestina tanpa pengecualian. Institusi yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah Al-Khilafah. Sebagai konsekuensi, penerapan syariat Islam dalam menjalankan instrumen politik penyelesaian atas tindakan Israel dapat dilaksanakan melalui Jihad Fisabilillah di bawah komando seorang Amirul Mukminin (Khalifah).

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Dengan demikian, upaya-upaya normalisasi terhadap kekejaman tindakan Zionis Israel tidak akan pernah diterima sebagai suatu kewajaran.

Wallahu a'lam bishawab.


*) Pengurus Forum Intelektual Muslim Indonesia (FIMI) Wakatobi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.